Ekspedisi Geografi Indonesia VI Sumatera Utara 2009
Bangsa Batak, demikian mereka mengklaim diri sebagai sebuah bangsa, bukan suku. Karena Bangsa Batak terdiri dari berbagai suku, seperti Karo, Mandailing, Simalungun, dan lainnya. Namun, Batak juga adalah Bangsa Indonesia, yang telah terbukti kesetiaan dan dukungan mereka saat perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Nama-nama Batak pun tidak asing bagi kita semua, seperti Hutasoit, Hutagalung, Nababan, Simanjutak, Silalahi, Simatupang, dan masih banyak lainnya. Dari nama-nama belakang itu, kita bisa mengetahui asal usul tanah leluhur mereka.
Huta menurut Bahasa Batak adalah kampung. Dari nama-nama huta itulah asal nama marga mereka. Meskipun, tidak ada yang pasti, mana yang lebih dahulu menggunakan nama itu, kampungnya atau orang yang menempati. Jadi jangan kaget jika anda berkeliling di Sumatera Utara, akan menemui nama-nama desa atau dusun atau suatu wilayah (toponim) seperti nama marga tersebut.
Lepas dari itu, satu kelompok rumah yang tergabung dalam sebuah huta, umumnya dibatasi oleh tanaman bambu. Menurut keyakinan mereka, bambu-bambu itu adalah benteng baik terhadap ancaman fisik maupun metafisik, seperti ilmu teluh dan sebagainya.
Jika ditilik lebih dalam lagi, rumah adat Batak juga memiliki keunikan, mulai dari arsitekturnya hingga motif yang menghiasi rumah tersebut. Menurut penuturan salah seorang narasumber dari warga setempat, dinding rumah adat Batak dibuat miring menengadah sebagai penggambaran perahu. Karena nenek moyang Batak disinyalir datang menggunakan perahu hingga sampai di wilayah Sumatera.
Pintu rumah adat Batak dibuat kecil, sehingga orang tidak dapat langsung masuk ke rumah tanpa harus menundukan kepalanya. Makna yang dapat dipetik dari bentuk pintu ini adalah bagi setiap orang yang masuk rumah harus taat dan tunduk dengan peraturan yang berlaku di dalam rumah tersebut, siapapun orang itu.
Uniknya, rumah adat Batak atau pun Karo, selalu menggambarkan cicak di dinding rumah mereka, baik nampak seperti cicak sebenarnya ataupun bentuk yang menyerupainya. Dalam hal ini, orang Batak memiliki falsafah hidup hendaknya dapat meniru cicak, binatang yang dapat hidup di rumah mana saja. Artinya, orang Batak dapat beradaptasi dengan lingkungannya seperti hidup cicak.
Entah sampai kapan falsafah-falsafah itu akan bertahan, karena banyak pula yang ditemui oleh Tim EGI Sumatera Utara 2009, tidak mengerti kenapa seperti itu. Bahkan, beberapa rumah adat telah dihuni oleh pendatang, sehingga tidak tahu apa makna di balik simbol-simbol itu.
Kearifan lokal seperti yang dicontohkan oleh oleh orang Batak ini semestinya dapat dipertahankan, jangan sampai tergerus oleh modernitas perumahan tanpa memperhatikan lingkungan.
Oleh Agung Christianto