Jumat, 01 November 2024   |   WIB
id | en
Jumat, 01 November 2024   |   WIB
Riset Gempa Selat Sunda Diintensifkan

Gempa 7,5 skala Richter yang menerjang Jawa Barat, Rabu (2/9), mengingatkan akan ancaman yang lebih dahsyat. Sejarah mencatat, gempa di atas 8 skala Richter pernah melanda Selat Sunda tahun 1908 sehingga menimbulkan kerusakan di Anyer sampai Jakarta. Untuk memahami pola dan periode kegempaan, akan dilakukan penelitian intensif dengan beberapa metode survei geologi.

Berkaitan dengan hal itu, Danny Hilman, pakar geologi dari Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Senin, mengemukakan, akan dilakukan pemasangan jejaring antena global positioning system (GPS) di Selat Sunda dan selatan Jabar dalam jarak lebih rapat.

Proyek itu dilakukan LIPI bekerja sama dengan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Dari hasil pemantauan, akan dilakukan penelitian dan analisis detail hingga tahu pola kegempaan.

"Kerja sama dengan semua pihak untuk riset dengan sistem GPS ini tetap terbuka untuk semua pihak," ujar Kepala Bidang Geodinamika Bakosurtanal Cecep Subarya.

Penelitian pergerakan tanah menggunakan jejaring GPS dilakukan peneliti Bakosurtanal sejak tahun 1989. Hasilnya menunjukkan adanya daerah "terkunci" atau tidak ada pergerakan relatif terhadap daerah sekitarnya yang bergerak 65 mm per tahun di selatan Lampung, tepatnya di Krui, Lampung.

Cecep yang juga Sekretaris Jenderal International Union Geodesy and Geophysics untuk Indonesia mengatakan, saat ini di kawasan Selat Sunda dan Jabar telah terpasang 14 stasiun atau antena referensi GPS, satu di antaranya milik Jerman.

Hasil analisis data GPS menunjukkan, tidak terjadi pergerakan berarti akibat gempa pada Rabu lalu karena gempa bersumber dari lempeng intra (intraplate) atau di bagian lempeng Eurasia sendiri, bukan di zona pertemuan lempeng (interplate). Hal ini ditunjukkan oleh lokasi episenter yang dalam dan dampaknya meluas di Pulau Jawa.

Subduksi melengkung

Meluasnya efek kegempaan yang terjadi pada Rabu lalu, menurut Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Fauzi, disebabkan subduksi yang melengkung atau cenderung mengarah dari barat daya ke timur laut. Hal ini menyebabkan intensitas kegempaannya meluas hampir ke seluruh Jawa, bahkan hingga ke Bali.

Selama ini diketahui subduksi lempeng di selatan Selat Sunda dan Jabar mengarah dari selatan ke utara. "Subduksi yang terjadi di sekitar Selat Sunda bergerak memutar searah jarum jam," ujarnya.

Di selatan Selat Sunda terjadi peregangan atau dilatasi. Sementara di selatan Banten mengalami kompresi-penekanan. Hal ini dikuatkan Cecep bahwa kawasan itu mengalami rotasi dengan kecepatan 20 mm hingga 30 mm per tahun.

Danny menambahkan, melihat topografi daerah itu, sulit dilakukan penelitian pola kegempaan dan tsunami dengan memantau terumbu karang karena tak ditemukan pulau yang dekat dengan zona subduksi. Hal yang mungkin dilakukan adalah memasang alat GPS di dasar laut. Namun, teknologi itu merupakan teknologi frontier yang baru dirintis Jepang. "Bila diterapkan, biayanya masih sangat mahal," lanjutnya.

Sumber: cetak.kompas.com