JAKARTA -- Standardisasi dan basis data untuk kawasan pesisir dan lautan dirasakan masih sangat kurang. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Ir Rudolf W Matindas, pada Forum Riset Geomarine, di Jakarta, Kamis (15/11).
Akibatnya, hingga kini pemanfatannya masih belum optimal untuk meningkatkan kesejahteraan. Nelayan dan penduduk yang mendiami kawasan pesisir, cenderung hidup dalam kemiskinan. Hal ini tentu ironis. Karena, dari sudut pandang mana pun, pesisir dan lautan memiliki volume sumber daya amat besar.
Kini, bagaimana menjadikan kawasan pesisir, pulau kecil, dan laut sebagai sumber ekonomi baru, merupakan tantangan yang mesti dijawab segenap unsur. Tak hanya di komunitas, dukungan serta penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pun sangat diharapkan untuk keberhasilan tujuan ini.
Hanya saja, ketika bicara pelaksanaan program, tentu harus berdasar pada ketersediaan data dan informasi yang sistematis. Namun, agaknya inilah yang perlu dibenahi lagi, terutama dalam hal kesiapan serta sinkronisasi dari data-data tersebut. Ciri data yang kerap telat, juga merambah ke sektor ini. ''Jika sedang dibutuhkan, kadang datanya belum tersedia dan 'baru mau akan','' ungkap Rudolf W Matindas.
Hal lain adalah tak jarang, beberapa instansi mengumpulkan data yang sama, tapi ketika hendak digunakan instansi lain, standarnya tidak sama. Karena itu, ke depan, lanjut dia, harus ada kesepakatan dalam pengumpulan data. Who is doing what, siapa yang punya core-bussiness di bidang apa, jelasnya, itulah yang mengerjakan.
''Ini 'kan harus ada systematic planning dan melengkapi secara nasional basis data pesisir dan laut. Karena untuk menjadikan itu sebagai sumber pertumbuhan, maka harus dilakukan berdasarkan perencanaan dan data yang akurat," kata Rudolf.
Data itu hendaknya mencakupi berbagai sektor, mulai dari lingkungan hidup, kelautan, pertanahan dan sebagainya. Data tadi tersedia dan bisa diakses banyak kalangan. Sejauh ini, upaya guna mencapai sinergi tadi terus dilakukan antara lain melalui forum dan program yang dibentuk. Ada yang dinamakan Marine Resource Evaluation and Planning Project (MREP) maupun Geomarine Research Forum.
Dari forum seperti ini, adanya duplikasi data dapat diminimalisir. Tentu perlu ada langkah lanjutan secara sinergis dan strategis dalam upaya mewujudkan basis data pesisir dan laut yang komplet dan mutakhir. ''Kita berharap kalau ini tercapai, kualitas perencanaan serta implementasi program akan jauh lebih baik,'' ujarnya.
Sementara, Kepala Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Bakosurtanal, Drs Suwahyuono MSc mengatakan, survei pesisir dan kelautan juga dilaksanakan oleh LIPI, Departemen Kelautan dan instansi terkait lain. Namun, ungkapnya, yang terpenting adanya standardisasi data spasial supaya potensi sumber daya tadi dapat terpetakan secara seragam.
Standar yang hendak diarahkan antara lain meliputi format, klasifikasi maupun pengolahan data. ''Kita akan lebih banyak ke sana, yakni menuju standar penyajian informasi secara spasial,'' imbuhnya. Pada kesempatan sama, Dr Hartono DESS dari Fakultas Geografi UGM, menilai pengelolaan wilayah pesisir dan laut memerlukan data spasial dan numerik sumber daya alam dan lingkungan dalam bentuk sistem informasi spasial. Data itu meliputi sumberdaya alam, abiotik, biotik dan hasil budidaya manusia.
''Sebisa mungkin, data disajikan secara lengkap teliti, akurat serta mutakhir mengenai lokasi, atribut, kuantitas dan kualitas, yang bervariasi dalam ruang dan waktu,'' kata dia. Saat ini, perkembangan teknologi sudah mampu menunjang kegiatan pengumpulan maupun pengolahan data wilatah pesisir dan kelautan. Misalnya, teknologi bidang Sains Informasi Geologi (SIG) seperti teknologi penginderaan jarak jauh (remote sensing), pengelolaan basisdata, global positioning system (GPS), surveying, dan kartografi digital.
Sumber: Koran Republika Tgl. 17 November 2006