Kawasan perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga nyaris tak terurus. Sistem pengamanan yang kuat dan terpadu tak terwujud. Akibatnya, kawasan perbatasan menjadi lintasan surga bagi sindikat kejahatan tingkat tinggi yang merugikan Indonesia sendiri.
Hal itu terungkap dari paparan serta pemetaan masalah oleh 14 kepolisian daerah dalam Rapat Koordinasi Pengamanan Wilayah Perbatasan NKRI yang digelar oleh National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (11/2).
"Masih kurang efektifnya sistem pengamanan di wilayah perbatasan darat dan perairan dapat menjadi peluang bagi pihak lain untuk mencari keuntungan," kata Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Yusuf Manggabarani yang membacakan sambutan Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri dalam acara tersebut.
Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigadir Jenderal (Pol) Halba Rubis Nugroho mengakui, sistem pengamanan kawasan perbatasan RI tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Kondisi itu amat memprihatinkan, mengingat kawasan perbatasan merupakan manifestasi konkret kedaulatan wilayah suatu negara.
"Dukungan infrastruktur dan fasilitas komunikasi sangat minim. Padahal, perbatasan merupakan cermin wajah dan wibawa bangsa," kata Halba.
Rapat koordinasi yang akan berlangsung hingga Jumat besok dihadiri pejabat dari polda di wilayah perbatasan, perwakilan dari berbagai instansi lain yang tergabung dalam koordinasi kawasan perbatasan, perwakilan polisi dari luar negeri, dan perwakilan Polri di negara-negara tetangga.
Halba menjelaskan bahwa saat ini 14 provinsi di Indonesia-40 kabupaten-berbatasan, baik darat maupun laut, dengan 10 negara tetangga. Negara itu adalah Malaysia, Papua Niugini, Timor Leste, India, Thailand, Vietnam, Singapura, Filipina, Palau, dan Australia.
Kejahatan tingkat tinggi
Berdasarkan data dari 14 polda terungkap bahwa perkara kriminal lintas negara yang kerap ditemui di wilayah 14 polda itu senantiasa bermuara pada minimnya pengaman di kawasan perbatasan. Perbatasan menjadi lintasan surga bagi aktivitas kejahatan tingkat tinggi.
Jenis kejahatan itu di antaranya terorisme; perdagangan manusia; narkoba; penyelundupan bahan bakar minyak, bahan pokok, senjata api, berbagai barang konsumsi, hingga manusia; pembalakan liar; perambahan hasil laut ilegal; penambangan ilegal; pengerukan pasir ilegal; hingga perompakan di laut.
Ironisnya, semua kejahatan tersebut bernilai ekonomi sangat tinggi, yang akhirnya juga membawa dampak sosial signifikan.
"Pelaku kejahatan lintas negara juga semakin memanfaatkan iptek, khususnya transportasi dan telekomunikasi. Pengorganisasian semakin rapi sehingga makin sulit diidentifikasi," kata Yusuf Manggabarani.
Kepala Polda Kalimantan Barat Brigadir Jenderal (Pol) Erwin TP Lumban Tobing mengungkapkan, di sepanjang 857 kilometer perbatasan Kalimantan Barat (Indonesia)-Malaysia terdapat 52 titik jalan tikus yang sangat rawan menjadi jalur lintasan aktivitas kejahatan. Jalur lintasan resmi hanya satu, yakni Entikong. Selain itu, dari 5.874 patok tapal batas di Kalbar, hanya 3.087 patok yang sudah dipatroli. Sebanyak 408 patok lainnya hilang, rusak, patah, dan tertimbun.
Aktivitas kejahatan bahkan kerap kali tak perlu sembunyi-sembunyi melalui jalan tikus. Dalam berbagai kasus perdagangan manusia, korban kerap kali diselundupkan melalui jalur resmi di Entikong. Salah satu korban, Santi (15)-bukan nama sebenarnya-mengaku dibawa sindikat memasuki Malaysia melalui Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong-Tebedu (Malaysia) tanpa pemeriksaan petugas imigrasi (Kompas, 31/1).
"Tentu akan diselidiki apakah ada unsur permainan, kesengajaan, atau unsur pidana lain dari para aparat berbagai instansi terkait di sana (Entikong)," kata Erwin kepada Kompas.
Miangas dan Marore
Selain aktivitas kejahatan lintas negara, pulau-pulau terluar Indonesia senantiasa juga terancam "tercaplok" negara lain.
"Contohnya kepulauan terluar di Sulawesi Utara, yaitu Pulau Miangas, Marore, dan Marampit. Belakangan, beredar peta pariwisata Filipina yang memasukkan ketiga pulau itu ke wilayah Filipina. Di masa mendatang, ini bisa menjadi masalah mencuat," kata Wakil Kepala Polda Sulawesi Utara Komisaris Besar John Kalangi.
Ketiga pulau tersebut terletak di Kabupaten Sangihe dan Talaud. Jarak ketiga pulau itu lebih dekat dengan Filipina (selatan) ketimbang ibu kota kabupaten. Dampaknya, secara sosial dan budaya, masyarakat setempat merasa lebih memiliki kedekatan sosial dengan Filipina ketimbang Indonesia. Kebutuhan sehari-hari dan sarana telekomunikasi terpenuhi dari negeri Filipina.
"Dulu penduduk di pulau-pulau itu pasang foto Presiden Marcos di rumah dan terbiasa berbahasa Tagalog. Pernah satu kali ada bentrokan antara aparat dan masyarakat yang tidak terselesaikan. Mereka lalu menaikkan bendera Filipina," kata John.
Tak terurusnya kawasan perbatasan tersebut cukup ironis, mengingat sedikitnya ada 16 instansi pemerintahan yang tergabung dalam tim koordinasi kawasan perbatasan.
Instansi itu adalah Kantor Menko Politik Hukum dan Keamanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, TNI, Polri, Departemen Hukum dan HAM (Imigrasi), Departemen Keuangan (Bea dan Cukai), Departemen Perhubungan, Departemen Luar Negeri, Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Koordinasi Survei Pemetaan Nasional, Direktorat 15 Badan Intelijen Negara, Direktorat B Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Badan Koordinasi Keamanan Laut, dan Lembaga Ketahanan Nasional.
"Perlu dibentuk saluran koordinasi cepat antar-aparat instansi terkait, yang bertanggung jawab di perbatasan wilayah NKRI," papar Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri dalam sambutan yang dibacakan Yusuf.(SF)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/12/02035533/perbatasan.tak.terurus