Apakah gempa bumi dapat diprediksi? Tantangan ini hingga kini belum terjawab. Namun, berbagai cara dilakukan, baik dengan menangkap fenomena alam maupun secara ilmiah. Belakangan ini tengah dicoba pengembangan deteksi kegempaan menggunakan gravimeter. Alat ini dilengkapi dengan sebuah sistem superkomputer yang disebut Superconducting Gravimeter (SG).
Bumi bukanlah benda statis, tetapi seperti mengalami dinamika. Pada inti atau mantelnya terjadi pasang surut atau pemuaian dan penyusutan. Proses ini dipengaruhi pula oleh tarik-menarik dengan planet di sekitarnya, terutama Matahari dan Bulan.
Perubahan kondisi Bumi ini dapat dipantau dengan parameter yang bekerja di dalamnya, seperti medan gravitasi, medan magnet, kelistrikan, suhu, porositas, atau kandungan air di permukaan tanah.
Dijelaskan Fauzi, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, tekanan lempeng menyebabkan penekanan rongga-rongga di lapisan Bumi. Hal ini menyebabkan keluarnya air ke permukaan.
Sejak September tahun lalu Stasiun Pengamatan Gaya Berat Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) bekerja sama dengan perguruan tinggi di Jepang menerapkan Superconducting Gravimeter (SG).
Parluhutan Manurung, Kepala Bidang Medan Gaya Berat dan Pasang Surut Bakosurtanal, menjelaskan, alat ini merupakan bagian dari Global Geodynamics Project (GCP).
Keberadaan stasiun ini di Indonesia sangat penting karena merupakan satu-satunya di khatulistiwa dan kawasan tektonik paling aktif di dunia. Jumlah alat ini terbatas, hanya 25 unit yang tersebar dalam jejaring Stasiun SG Global.
Alat GCP berfungsi memonitor terus-menerus perubahan medan gaya berat atau gravitasi Bumi dari detik ke detik hingga tahunan. Alat ini memantau sinyal perubahan nilai gaya berat secara kontinu selama enam tahun sampai diperoleh empat parameter.
Sejak teori gravitasi dilontarkan Isaac Newton 300 tahun lalu, pemahaman tentang gravitasi meningkat dan dikembangkan sistem pemantauan fenomena gravitasi Bumi. Sistem itu lalu dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi, mencari sumber daya mineral dan minyak bumi.
Superconducting Gravimeter merupakan alat pengukur perubahan gaya berat atau gravitasi Bumi dengan kepekaan sangat tinggi-fraksi satu permiliar kali atau nano Gal. Dengan kemampuan ini, alat yang ditempatkan di permukaan Bumi itu dapat menangkap sinyal peubah mulai dari aktivitas inti Bumi hingga ke permukaan Bumi.
Alat ini mampu memantau sinyal perubahan gaya berat atau gelombang gravitasi yang disebabkan oleh aktivitas inti Bumi dan pengaruhnya terhadap gravitasi di permukaan hingga diperoleh gambaran tentang dinamika Bumi.
SG memiliki keunggulan, yaitu dapat memantau perubahan gravitasi dengan kepekaan yang tinggi dan memberi gambaran interaksi perubahan massa atmosfer sesuai kondisi cuaca.
Selain itu, digunakan untuk memantau perilaku kerak bumi yang dipengaruhi konstelasi Bumi terhadap planet lain yang berperan dalam memicu gempa bumi. Alat ini dapat mendeteksi gempa kecil dan besar.
Sistem SG yang terpasang di Kantor Bakosurtanal Cibinong, sejak September 2008 dapat memantau gempa Gorontalo, Desember tahun lalu, dan gempa Tasikmalaya, Rabu (2/9).
Pengukuran gaya berat di Indonesia, ujar Kepala Bakosurtanal Rudolf W Matindas, telah lama dilakukan oleh perusahaan minyak di Jawa dan Sumatera. Namun, cakupannya tergolong sempit.
Data itu selama ini dirahasiakan perusahaan itu karena dapat mengungkap kondisi lapisan permukaan Bumi yang memiliki cekungan minyak. Sementara itu, di luar Pulau Jawa dan Sumatera boleh dibilang hingga kini minim data gaya berat, bahkan Papua masih tergolong blank area.
Penyediaan data gaya berat secara nasional untuk keperluan pembangunan di daerah dilakukan Bakosurtanal dengan menggandeng Denmark Technical University.
Untuk mempercepat survei gravitasi ini dipilih wahana pesawat terbang, yang menurut Koordinator Survey Airborne Gravity Indonesia (SAGI) 2008 Fientje Kasenda, memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan survei di darat atau teresterial dan satelit.
Dengan pesawat terbang, jangkauan lebih luas dan cepat untuk medan yang berat, seperti hutan, pegunungan, dan perairan dangkal hingga pesisir.
Selain itu, juga ada kesinambungan data antara laut dan darat. Resolusi data lebih baik dibandingkan dengan data satelit. Biaya pun lebih rendah.
Dalam program Bakosurtanal, tutur Matindas, SAGI tahap pertama dilakukan di seluruh Sulawesi yang topografinya kompleks. Diharapkan, survei gaya berat dan pembuatan peta seluruh Indonesia ini selesai 2012.
Oleh Yuni Ikawati
Sumber: www.kompas.com