Bumi selalu dianggap berbentuk bulat dan mempunyai gravitasi yang sama di seluruh permukaannya. Kenyataannya tidak begitu. Karena massa di perut bumi memiliki kerapatan yang heterogen, maka terjadilah penyimpangan gaya gravitasi. Anomali itulah yang justru dicari para memburu minyak bumi dan para penambang.
Untuk menggambarkan bentuk bumi, ada beberapa model yang dipakai, di antaranya dipilih bentuk ellipsoida dan digunakan asumsi bahwa densitas (kerapatan) bumi homogen. Padahal, kenyataannya, kerapatan massa bumi itu heterogen yang juga diliputi air batuan leleh, minyak, dan gas. Di permukaan bumi ada gunung-gunung yang memendam magma, sebagiannya ditutupi lautan, dan di bawahnya bersembunyi cekungan minyak. Daerah-daerah tersebut gaya beratnya lebih rendah dibandingkan dengan permukaan atau lapisan bumi yang padat dan rapat.
Dengan ditemukannya kondisi itu, bentuk ellipsoid bumi yang ideal tadi memiliki jarak dengan bentuk geoid, yaitu model bumi yang mendekati bentuk bumi sesungguhnya. Secara praktis geoid dianggap berimpit dengan permukaan laut rata-rata pada saat keadaannya tenang dan tanpa gangguan cuaca.
Jarak geoid terhadap ellipsoid itu-yang disebut undulasi geoid-jelas tidak sama di semua tempat, karena ketidakseragaman sebaran densitas massa bumi itu. "Beda tinggi antara ellipsoid dan tinggi geoid sangatlah bervariasi dan besarnya bisa mencapai puluhan meter," urai Joenil Kahar, pakar Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pengukuran "geoid"
Peta geoid dibuat berdasarkan pengukuran gaya berat bumi di setiap tempat menggunakan alat ukur yang disebut dengan gravimeter. Pengukuran itu dilakukan dengan mengacu pada jejaring berupa garis-garis sejajar dengan kerapatan tertentu, yang direncanakan di atas peta.
"Bagi kegiatan survei pemetaan, geoid digunakan untuk acuan tinggi rupa bumi atau topografi," kata Jacub Rais, pakar geomatika yang juga guru besar emeritus di ITB.
Untuk keperluan aplikasi geodesi, geofisika, dan oseanografi dibutuhkan juga geoid dengan ketelitian yang tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan memadukan sistem global positioning system (GPS) yang dapat mengukur ketinggian permukaan bumi di mana pun dan kapan pun, serta tidak tergantung cuaca di seluruh permukaan bumi.
Dalam bidang geodesi, informasi geoid yang teliti ini dipadukan dengan sistem GPS dalam penentuan tinggi ortometrik digunakan untuk berbagai keperluan praktis, seperti pembangunan infrastruktur bangunan, bendungan, dan saluran irigasi.
Teknik pengukuran aerial gravitasi adalah menempatkan alat gravimeter di pesawat terbang yang mengudara dengan kecepatan, tinggi, dan arah tertentu, banyak digunakan setelah era GPS, karena memberi akurasi posisi yang sangat teliti.
Adapun teknik pengukuran dari antariksa dengan menempatkan sensor gravitasi pada satelit, baru diterapkan pada era milenium ini dengan diluncurkannya satelit gravitasi, seperti Champ, Grace, dan Goce.
Data gravitasi ini diaplikasikan antara lain untuk pencarian sumber daya alam, seperti mineral, hidrokarbon, gas, geotermal, dan hidrologi. Selain itu, juga untuk mengetahui deliniasi struktur bumi yang berhubungan dengan bencana alam, seperti patahan, tanah longsor, dan gunung api.
Informasi geoid yang dibuat dari data gaya berat diperlukan untuk penerapan sistem tinggi dengan teknik satelit, seperti GPS, Galileo, dan Glossnas, serta unifikasi sistem tinggi untuk pemetaan serta menunjang penelitian kenaikan paras muka laut dan sirkulasi arus laut.
Di Indonesia
Pengukuran gaya berat di Indonesia, ujar Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Rudolf W Matindas, telah lama dilakukan oleh perusahaan minyak di Jawa dan Sumatera. Namun, cakupannya tergolong sempit. Data itu selama ini dirahasiakan perusahaan itu karena dapat mengungkap kondisi lapisan permukaan bumi yang memiliki cekungan minyak. Sementara itu, di luar Pulau Jawa dan Sumatera boleh dibilang hingga kini minim data gaya berat, bahkan Papua masih tergolong blank area.
Penyediaan data gaya berat secara nasional untuk keperluan pembangunan di daerah dilakukan Bakosurtanal dengan menggandeng Denmark Technical University.
Untuk mempercepat survei gravitasi ini dipilih wahana pesawat terbang, yang menurut Koordinator Survey Airborne Gravity Indonesia (SAGI) 2008, Fientje Kasenda, memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan survei di darat atau teresterial dan satelit. Dengan pesawat terbang jangkauan lebih luas dan cepat untuk medan yang berat, seperti hutan, pegunungan, dan perairan dangkal hingga pesisir. Selain itu juga memberikan kesinambungan data antara laut dan darat. Resolusi data lebih baik dibandingkan dengan satelit. Biaya yang dikeluarkan pun relatif lebih murah.
Dalam program Bakosurtanal, tutur Matindas, SAGI tahap pertama dilakukan di seluruh Sulawesi, sebagai daerah yang memiliki topografi yang kompleks. Diharapkan survei gaya berat dan pembuatan peta seluruh Indonesia dapat diselesaikan pada tahun 2012.
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/21/01013984/membaca.rahasia.di.perut.bumi