Sumenep, kabupaten yang berada di paling ujung Pulau Madura, memiliki potensi alam dan berada di posisi strategis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kabupaten Sumenep memiliki keragaman jenis fauna laut dan sumberdaya migas yang cukup besar. Selain itu, wilayah kabupaten ini secara langsung berhadapan dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II, yang dapat dilalui oleh kapal-kapal asing untuk menyeberangi kepulauan di Indonesia.
Potensi dan posisi strategis ini disadari dengan baik oleh penduduk setempat. Namun, mereka memiliki beberapa keterbatasan sehingga untuk mengembangkan potensi tersebut harus berbenturan dengan berbagai hal. Salah satunya adalah tentang kewenangan untuk pengelolaan. Masalah ini mungkin sama seperti daerah-daerah lainnya, sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah no 32 tahun 2004, di mana daerah dibatasi pengelolaan wilayah laut berdasarkan jarak tertentu, yaitu 12 mil laut untuk provinsi dan 4 mil laut untuk kabupaten/kota (atau 1/3 wilayah kewenangan provinsi).
Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Sumenep, M. Hanafi, berdasar pemahaman dia, jika mengacu undang-undang tersebut berarti wilayah Sumenep, yang sebagian besar berupa kepulauan, bukan merupakan satu kesatuan utuh, tetapi terpisah-pisah berdasarkan batas-batas tertentu. Berbeda dengan pemahaman mereka sebelumnya, yaitu wilayah Sumenep yang utuh. Selanjutnya, akan menjadi masalah jika di antara wilayah tersebut ternyata memiliki sumberdaya alam yang potensial, seperti migas. Bagaikan pepatah, ada gula ada semut, sehingga mengundang berbagai pihak untuk saling mengklaim hak kepemilikan mereka.
Dalam hal ini, BAKOSURTANAL sebagai instansi teknis yang juga menangani tentang batas wilayah, tidak memiliki kewenangan untuk menentukan hak pengelolaan semacam itu. Kewenangan itu ada di Departemen Dalam Negeri (Depdagri), demikian tutur Sukendra Martha, Sekretaris Utama BAKOSURTANAL, saat menerima kunjungan Komisi C DPRD Kabupaten Sumenep (Kamis, 14/6/2007).
Sukendra menjelaskan, posisi BAKOSURTANAL mungkin seperti wasit atau penengah, yang menyediakan data yang diperlukan untuk menentukan batas-batas tersebut.
Kenyataan ini memang perlu menjadi bahan pertimbangan semua pihak berwenang, baik pemerintah pusat dan daerah, DPR, DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Selama ini peta tidak pernah menjadi acuan untuk menentukan batas wilayah secara jelas.
Suatu ironi, jika luas wilayah telah diundangkan tanpa menyertakan lampiran berupa peta sebagai acuan untuk menentukan luas wilayah tersebut. Seperti kasus Kabupaten Sumenep, di mana luas wilayah perairan berdasarkan pembentukan kabupten ini sekitar 50 ribu kilometer persegi (UU no 12 tahun 1950), namun berdasarkan pengukuran BAKOSURTANAL (dari peta dengan menarik batas pada masing-masing pulau terluar) luas wilayah perairan Sumenep hanya 9.319,65 kilometer persegi, seperti dipaparkan oleh Herwanto, Pusat Pemetaan Batas Wilayah BAKOSURTANAL. Luas tersebut merupakan 4 mil batas perairan terluar dari masing-masing pulau sesuai dengan UU no. 32 tahun 2004.
Permasalahan seperti ini sangat perlu diperhatikan oleh semua pihak, terutama para pemimpin negara ini. Data spasial seperti peta kini telah menjadi tuntutan sebagai acuan untuk menentukan berbagai kebijakan, baik di pusat maupun di daerah, di era otonomi ini.AC