Minggu, 24 November 2024   |   WIB
id | en
Minggu, 24 November 2024   |   WIB
Lokakarya Pemetaan dan Penataan Geografis

Forum Pemulihan Kabupaten (FPK) bekerjasama dengan BAKOSURTANAL dan National Geographic Indonesia (NGI), menyelenggarakan Lokakarya Pemetaan dan Penataan Geografis bagi Guru Geografi dan Bappeda dari 8 Kabupaten/Kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 25-26 Mei 2009.

Lokakarya yang dilangsungkan selama 2 hari di Gedung Pendari Takengon, Aceh Tengah, dibuka oleh Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin, MM. Sebelumnya, Dra. Diah Kirana Kresnawati, M.Sc., Kepala Pusat Pelayanan Jasa dan Informasi BAKOSURTANAL, memberikan kata sambutan saat pembukaan, yang dihadiri oleh lebih dari 70 peserta, baik dari staf pemerintah di lingkungan Kabupaten Aceh Tengah, maupun jurnalis dari media cetak dan elektronik.

Acara ini merupakan inisiasi dari Forum Pemulihan Kabupaten (FPK) yang beranggotakan UNORC (Badan Khusus PBB untuk Koordinator Pemulihan Aceh dan Nias) dan pemerintah daerah dari 3 Kawasan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Ketiga kawasan tersebut adalah Kawasan Timur, meliputi 3 kabupaten/kota, yaitu Lhokseumawe, Aceh Utara, dan Bireun; Kawasan Barat, terdiri dari 3 kabupaten, Aceh Barat, Aceh Jaya dan Nagan Raya; dan Kawasan Tengah, ada 2 kabupaten, Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Dalam lokakarya ini, sedikitnya 52 orang guru dan staf Bappeda 8 kabupaten/kota FPK mendapatkan paparan tentang pemetaan, ilmu kebumian, dan survei. Pemateri lokakarya selain dari BAKOSURTANAL dan NGI, ada pula dari organisasi internasional seperti World Vision International, Samdhana, dan Islamic Relief.

Kegiatan dibuka dengan pengenalan peta, dilanjutkan dengan paparan mengenai tantangan penggunaan data spasial dalam kegiatan belajar-mengajar (KBM) bagi guru-guru geografi.

Pendidikan Geografi selama ini dirasakan hanya sekadar pelajaran hapalan, bukan pengetahuan tentang kehidupan. Padahal ilmu geografi bukanlah hanya berbicara tentang ruang alam yang statis, tetapi sangat erat kaitannya dengan kehidupan individual, masyarakat, dan relasinya dengan lingkungan. Oleh karena itu, ilmu geografi tidak boleh diajarkan sembarangan karena akan berakibat fatal bagi kehidupan massal suatu daerah.

Menurut Suharto Widjojo, Kepala Pusat Atlas BAKOSURTANAL, pelajaran geografi haruslah diajarkan oleh mereka yang berlatar pendidikan dan terlatih dengan ilmu itu (kebumian-red).

Para guru dan staf Bappeda diajarkan filosofi dan tata cara pembuatan peta, atlas dan perangkat geospasial lainnya. Semuanya bertujuan memberikan pengetahuan dan pelatihan bagi mereka, agar bisa lebih baik mengajarkan murid dan membuat perencanaan pembangunan.

Guru dan staf Bappeda ini juga mendapatkan paparan mengenai pentingnya pemetaan partisipatif, sebuah ide di mana suatu masyarakat dapat membuat peta yang khusus mengenai tempat di mana mereka tinggal.

Menurut Sofyan (dari Samdhana), peta partisipatif dapat dibuat di sekolah-sekolah. Murid dan guru bersama-sama membuat pemetaan apabila bencana datang. Peta tadi dapat menggambarkan lokasi pengungsian, atau tempat perteduhan yang paling dekat dari gerbang sekolah.

Danu Pujiachiri, dari NGI, menunjukkan kepada para peserta beberapa perangkat fotografis dan multimedia yang dapat digunakan sebagai sarana ajar dan penyebaran informasi geografi yang penting.

Seorang guru dari Aceh Tengah mengemukakan betapa pentingnya acara ini, dan betapa melimpahnya informasi yang mereka dapatkan selama 2 hari ini. "Saya akan mulai menggagas pembuatan peta partisipatif di sekolah saya. Pengalaman dan ilmu dari workshop ini sudah memperkaya wawasan saya dalam menyiapkan metode pengajaran alternatif. Harapan saya, murid-murid saya nantinya bukan hanya semakin tanggap terhadap bencana, tetapi mengenal dan terbiasa dengan perangkat geospasial yang modern dan lengkap."

Lokakarya ini merupakan satu pemicu bagi kelanjutan usaha pengurangan risiko bencana yang dihubungkan dengan dunia pendidikan dan keilmuan geografi. Guru merupakan aktor penting bagi penyebarluasan nilai dan prinsip kewaspadaan bencana sekaligus mengajarkan kepada siswa mengenal karakteristik kerentanaan daerah tinggal mereka.

Demikian juga dengan Bappeda yang sangat erat hubungannya dengan isu pembangunan. Melalui suatu perencanaan pembangunan yang memperhatikan dengan baik sensitivitas alam dan lingkungan, diharapkan akan membuat pembangunan itu semakin sustainable (berkelanjutan), dan bermanfaat bagi ribuan manusia sekaligus generasi yang akan datang.

"Spatial mindset" atau pola pikir keruangan sangat diperlukan oleh masyarakat kita, dalam mengenal wilayah tinggal kita, sekaligus dapat membuat kita semakin kritis terhadap kerusakan lingkungan dan bencana alam.

John F Audermansenn Sinaga
Communication Desk-Workshop Geografi

e-mail : audermansenn@yahoo.com , john.sinaga@unorc.or.id
HP : 62 81269068626