Minggu, 24 November 2024   |   WIB
id | en
Minggu, 24 November 2024   |   WIB
Laut Sulut Terancam

Wilayah Tokatindung yang peruntukannya adalah untuk wisata dan perkebunan terancam rusak jika Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Utara terus tertunda. Saat ini sebuah perusahaan pertambangan multinasional telah melakukan kegiatan konstruksi di sana.

Kondisi itu ditanggapi sejumlah lembaga nonpemerintah, Selasa (23/6) di Jakarta. Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Pertambangan (Jatam) Siti Maemunah pada konferensi pers bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya menyatakan, "Sulawesi Utara baru saja dijadikan tempat penyelenggaraan Konferensi Kelautan Dunia (WOC) tetapi di situ pula ditimbulkan ancaman terhadap kelautan dan nelayan dengan rencana pertambangan emas."

Beberapa LSM lainnya meliputi Indonesia Center for Environtmental Law (Icel), Yayasan Suara Nurani-Sulawesi Utara, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).

Menurut dia, RTRW itu merupakan upaya penyelamatan kelautan dari ancaman limbah pertambangan. Perusahaan itu beroperasi di kawasan Tokatindung, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulut. Upaya penyelamatan terhambat karena persetujuan RTRW dari pemerintah pusat tersendat.

Sejak 1998 permintaan izin pertambangan di kawasan itu ditolak rakyat. Sementara surat dari Menteri Negara Lingkungan Hidup pada 8 April 2008 berisi, pihaknya tak pernah menerbitkan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan bagi kegiatan pertambangan itu. Di sisi lain, Gubernur Sulut dalam surat 2 Februari 2007 menegaskan tidak menyetujui dokumen amdal perusahaan pertambangan tersebut (Kompas, 10/7/2008).

Sekjen Kiara Riza Damanik mengatakan, pemerintah pusat perlu didesak mengesahkan RTRW yang diusulkan secara "bottom up"

sesuai semangat otonomi daerah itu. Lokasi pertambangan sekitar 4 kilometer dari pantai Rondor. Pantai itu terancam rusak karena akan menjadi tempat pembuangan tailing-sekitar 3.652 ton per hari.

"Itu mengancam sumber pendapatan sekitar 18.000 nelayan tradisional. Penghasilan rata-ratanya Rp 53,4 miliar per tahun," ujar Riza. Menurut dia, jumlah itu tiga kali lipat nilai pemasukan pemerintah dari perusahaan tambang, sementara pertambangan hanya berlangsung sementara sedang kerusakan lingkungannya tidak terpulihkan.

Henry Subagio dari Icel mengatakan, pengesahan RTRW Provinsi Sulut menunjang penegakan hukum. "Pejabat pemberi izin pembangunan yang melanggar RTRW dapat dikenai sanksi pidana maksimal 5 tahun," ujarnya.

Sekretaris Ditjen Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Departemen ESDM Witoro Soelarno ketika dihubungi mengatakan, komitmen awal antara pemerintah dan investor masih menjadi pegangan. Perbedaan tujuan dan pemanfaatan Tokatindung yang berkembang antara pertambangan dan perkebunan serta pariwisata tak bisa dibenturkan.

"Persoalan ancaman terhadap kerusakan lingkungan sudah diupayakan penyelesaiannya dengan baik," kata Witoro.

Sumber: cetak.kompas.com