Hampir lima tahun lalu tsunami menggelontor daratan Aceh. Bencana dahsyat itu memang belum lama silam, tetapi apakah masyarakat di negeri Serambi Mekkah ini telah bangkit lagi dan mewaspadai ancaman serupa kelak? Jawabannya terbaca pada Indian Ocean Wave Exercise 2009.
Cuaca pagi di atas Tanah Rencong itu begitu cerah. Di ruang makan kediaman Wakil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Muhammad Nazar-selaku tuan rumah-tengah menjamu tamunya, di antaranya Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman.
Ketika jarum jam menunjuk angka 8, terjadi gempa besar. Sebagian besar orang di ruang itu berlarian keluar dari ruang menuju pekarangan rumah. Beberapa orang memilih berlindung di kolong meja.
Mereka yang berkumpul di pekarangan semua berjongkok sampai guncangan berhenti beberapa menit kemudian. Wagub kemudian menelepon jajaran terkait untuk melakukan upaya pemantauan dan penyiagaan semua aparatnya. Ia meminta aparatnya menghubungi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika untuk mendapatkan konfirmasi tentang potensi tsunami setelah gempa tersebut.
Proses itu tampak lancar, dalam waktu sekitar 5 menit pascagempa telah diperoleh laporan bahwa gempa yang berkekuatan 8,3 skala Richter itu berpotensi menimbulkan tsunami di NAD. Maka, ia memerintahkan Pusat Pengendali Operasi untuk membunyikan sirene peringatan tsunami di Meuraxa dan Lhoknga.
Segera setelah itu, Nazar dan rombongan meluncur dari rumah dinas ke Pusdalops yang memakan waktu sekitar 11 menit. Dari pusat pengendalian, ia bisa mengetahui hasil pemantauan dan laporan dampak tsunami di seluruh NAD serta upaya yang harus dilakukan pada masa tanggap darurat. Dari pantauan sistem peringatan dini tsunami diketahui tsunami akan sampai di pantai Aceh dalam waktu 40-50 menit setelah gempa terjadi.
Di Pusdalops bisa dilihat cara kerja sistem komunikasi, sistem pemantauan, serta sistem komando yang menjangkau hingga tingkat desa dan satuan tugas di lapangan. Dalam waktu dua jam simulasi tsunami itu pun selesai.
Uji sistem dan komando
Tidak seperti tsunami drill yang dilakukan di beberapa daerah sebelumnya sejak tahun 2005, yang melibatkan massa dalam jumlah besar, simulasi di NAD ini memang lebih ditekankan pada pengujian sistem peringatan dini dan sistem komando serta prosedur operasi standar (SOP) yang telah dibuat.
Ini bertepatan dengan peringatan hari pengurangan risiko bencana dunia yang jatuh 14 Oktober 2009. Untuk itu dilakukan pengujian sistem peringatan (dini) tsunami melalui program Ocean Wave Exercise 2009.
Simulasi ini disiapkan sejak tahun 2008, meliputi penyusunan SOP menghadapi gempa dan tsunami serta memberikan pelatihan kepada sekolah, lembaga swadaya masyarakat, dan aparat.
Kegiatan pengujian ini dikoordinasi Kementerian Negara Riset dan Teknologi bersama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika; Badan Nasional Penanggulangan Bencana; dan Pemerintah Provinsi NAD.
Keandalan sistem peringatan kejadian tsunami di NAD sangat diharapkan banyak negara di sekeliling Samudra Hindia, yang juga terancam tsunami merusak-tingginya lebih dari 2 meter.
Pembangunan jejaring peringatan tsunami melibatkan 14 negara di kawasan Hindia di bawah koordinasi Intergovernmental Coordination Group-Indian Ocean Tsunami Warning System (ICG-IOTCS).
Menanda jejak tsunami
Keberadaan sistem peringatan dini tsunami sangat dibutuhkan penduduk pantai di NAD, yang lokasinya paling dekat dengan pusat gempa. Waktu yang diperlukan penduduk untuk menyelamatkan diri dari tsunami pascagempa kurang dari satu jam.
Sistem peringatan yang diperlukan bukan hanya sekadar berfungsi memberi peringatan secara cepat, tetapi harus cukup tangguh terhadap guncangan gempa yang dahsyat dan aman dari terjangan tsunami.
Karena itu, bila sistem tersebut rusak dilanda gempa, perlu ada beberapa alternatif, seperti penggunaan jaringan radio amatir hingga mengerahkan kurir berkuda untuk menjelajah medan yang porak-poranda.
Untuk evakuasi menghadapi tsunami di NAD, saat ini telah dibangun gedung penyelamatan dekat pantai, di antaranya enam di Banda Aceh dan jalur evakuasi yang lebar.
Namun, itu saja tidak cukup. Diperlukan tonggak penanda di daerah rawan tsunami yang mudah diketahui penduduk. Jelajah tsunami di Aceh bisa mencapai 4 kilometer.
Di daerah itu kini ada rekaman jejak tsunami yang akan selalu mengingatkan penduduk akan bahaya tsunami, berupa monumen dan museum tsunami. Semua sarana ini perlu pemeliharaan hingga kapan pun.
Sumber: ceta.kompas.com