Ekspedisi Geografi Indonesia VI Sumatera Utara 2009
Salah satu kebanggaan bangsa Indonesia adalah Danau Toba. Danau yang berada di Pulau Sumatera, tepatnya di tengah Provinsi Sumatera Utara, merupakan danau terbesar di Indonesia. Toba memiliki panjang hingga 100 kilometer dan lebar 30 kilometer, merupakan supervolcano (gunungapi raksasa), terbentuk akibat peristiwa vulkanik 75.500 tahun lalu.
George Weber, dalam publikasinya yang dimuat di internet, mengambarkan hasil letusan Gunungapi Raksasa Toba pada peringkat kedua, setelah Fish Canyon, Colorado, Amerika Serikat, pada 28 ribu tahun yang lalu. George menyakini Toba memuntahkan material lebih dari 2.800 kilometer kubik, sehingga menghancurkan puncaknya dan menyisakan Samosir di bagian tengah kaldera.
Hasil muntahan Toba pun menyusun struktur batuan dan tanah di sekeliling Toba, yaitu abu vulkanik (tuff) yang memiliki ciri seperti butiran pasir dan mudah lepas. Di atas struktur tanah dan batuan inilah tumbuh-tumubuhan mendapatkan ‘surga'-nya untuk tumbuh dan berkembang dengan subur.
Maka tidak heran jika Sumatera Utara dikenal memiliki hasil pertanian dan perkebunan yang melimpah. Sebut saja Kopi Sidikalang yang dikenal nikmat dan khas, hasil pertanian di Barat Laut Danau Toba. Lalu, Jeruk Berastagi di Utara Danau Toba. Tidak ketinggalan Markisa, hingga Tembakau Deli di dataran rendah sepanjang pesisir Timur.
Kesuburan tanah Toba pun telah melahirkan sebuah peradaban baru, yang diyakini menjadi nenek moyang suku bangsa Batak. Si Raja Batak pun menjadi peletak dasar peradaban Batak, yang kini berserak di sekitar Toba, Sumatera dan di seluruh Indonesia.
Namun sayangnya, Toba yang berada pada ketinggian, semestinya sebagai area tangkapan air, berubah menjadi lahan penuh bangunan, baik hotel maupun permukiman. Sebuah resort pun terbangun dengan megahnya di bibir danau, dikelilingi oleh kawasan hutan lindung. Bangunan-bangunan bertipe modern menghiasai taman wisata itu, diselingi oleh berbagai macam tanaman hortikultura, yang notabene tidak memiliki perakaran yang kuat untuk mengikat tanah bagian atas. Efeknya nampak sangat jelas, beberapa lereng pun mengalami erosi.
Demikian pula dengan kebiasaan penduduk di sekitar Toba, yang masih sering melakukan pembakaran semak belukar untuk membuka ladang baru atau untuk keperluan ternaknya. Dampaknya pun nyata, jika terjadi pembakaran di lahan yang luas dan banyak, kabut asap kembali menjadi masalah, baik di lokasi maupun negara tetangga. Pada lahan-lahan tersebut juga rawan mengalami longsor, karena tidak ada tutupan perdu yang melindunginya. Tim Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) 2009 menyaksikan secara jelas pembakaran lahan itu, hingga menyebabkan lereng-lereng di sekitar Toba hanya ditumbuhi ilalang.
Kekayaan alam Toba dan kekayaan budaya di dalamnya adalah aset kita semua. Bersama-sama kita semestinya menjaga Toba agar tetap asri. Kearifan kita terhadap lingkungan sangat penting untuk menjada legenda Toba dan Samosir tetap hidup sepanjang masa.
Oleh Agung Christianto