Minggu, 24 November 2024   |   WIB
id | en
Minggu, 24 November 2024   |   WIB
Jalan Rusak dan Bendungan Dangkal

Apa jadinya jika sumberdaya alam tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya? Itulah mungkin yang akan menjadi ‘PR' pemda-pemda di seluruh Indonesia, dengan sumberdaya alamnya yang melimpah ruah. Seperti halnya dengan Provinsi Sulawesi Selatan, yang memiliki wilayah mulai dari laut, perbukitan, gunung berapi tua, hingga karst. Bentang alam yang sungguh menakjubkan dan dapat memberikan kesejahteraan yang melimpah bagi penduduknya.

Kenyataan itu nampak jelas ketika Tim Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) 2008 BAKOSURTANAL menyusuri jalan sepanjang Makassar-Malino. Sebelumnya, pada hari kedua ekspedisi ini, tim diterima oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Banglitbangda (Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah), Titien Sutarty. Bertolak dari Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, tim ekspedisi menuju ke arah Selatan lalu ke Timur, dengan tujuan Bendungan Bili-bili dan Malino.

Perjalanan Makassar - Bili-bili ditempuh dengan kondisi jalan yang rusak parah, hal itu juga diakui oleh Titien sebelum melepas tim ekspedisi, karena tidak dapat ditempuh dalam waktu lebih cepat dibanding dulu. Selepas dari Ibukota Kabupaten Gowa, Sungguminasa, masuk Kecamatan Somba Opu terpampang pemandangan debu dan lubang di jalan yang dilalui berbagai macam kendaraan.

Salah satu faktor dominan kerusakan jalan itu nampak jelas, yaitu truk-truk besar bermuatan tambang golongan C (pasir dan batu) dari wilayah perbukitan. Truk yang lalu lalang, baik siang dan malam, menyebabkan beban yang berlebihan terhadap jalan.

Semakin parahnya adalah perawatan jalan tidak seimbang dengan kerusakan yang telah terjadi. Hal ini perlu menjadi perhatian serius, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten, karena jalan tersebut menghubungkan wilayah yang memiliki potensi alam yang sangat besar.

Namun, kerusakan itupun bukan semata-mata karena truk-truk itu. Jika kita meniliki ke depan, ke mana truk itu bergerak, pastinya ke kota, yaitu Makassar. Ini adalah salah satu dampak pertumbuhan perkotaan tanpa dibarengi oleh keseimbangan di daerah penyangganya. Sepantasnya jika Pemprov Sulawesi Selatan memberikan perhatian yang lebih besar, agar tidak terjadi seperti Jabodetabek yang telah kronis.

Bendungan Bili-bili
Tepat pukul 12.30 WITA, Tim EGI ke-4 sampai di Bendungan Bili-bili yang merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Air Sungai Jeneberang yang berhulu di Gunung Berapi Tua Bawakaraeng, dibendung pada ketinggian sekitar 140 meter di atas permukaan laut, agar tidak meyebabkan banjir di Kota Makassar dan dapat mengairi persawahan di bawahnya.

Menurut Budi Brahmantyo, anggota Tim EGI dari ITB yang juga pakar geologi, terdapat keanehan dengan genangan air di bendungan tersebut. Air nampak keruh, sehingga tidak dapat digunakan untuk budidaya ikan keramba. Budi mensinyalir keruhnya air bendungan akibat koloid, yang menyatu dengan air, sehingga perlu dipisahkan secara osmosis.

Sinyalir Budi terbukti benar adanya, karena di bagian hulu nampak berserakan batu-batu dan pasir hasil longsoran dari atas. Bahkan sabo (bendungan penahan endapan material) tidak dapat menahan laju pasir dan batu ke arah bendungan, yang pembangunannya dibantu oleh JBIC (Japan Bank for International Cooperation). Akibatnya, waduk pun semakin mengalami pendangkalan, sehingga mempercepat usianya.

Ironisnya lagi, di bagian atas bendungan tersebut ternyata dilakukan penambangan, sehingga semakin melepas material-material menjadi butiran-butiran yang lebih kecil. Pertambangan ini juga yang menyebabkan kerusakan jalan menuju Bili-bili.

Lepasnya material dalam jumlah besar, menurut Budi wajar terjadi karena Gunung Bawakaraeng merupakan gunung berapi tua, sehingga tidak memiliki kekuatan untuk mengikat material dari energi yang mengikisnya. Jika kita melihat ke arah hulu Sungai Jeneberang melalui citra satelit, nampak jelas telah terjadi longsoran yang sangat besar, hampir sebesar bukit, sehingga materialnya bergerak ke bawah.

Selain itu, tidak dapat dielakan suatu kenyataan, di mana bukit-bukit di sekitar bendungan mengalami penggundulan. Di tengah keheningan bendungan, nun jauh di sana terdengar suara melengking gergaji mesin. Entah, apakah mereka memotong pohon atau kayu, semoga saja bukan keduanya yang merupakan hasil pembalakan liar.

Baik Pemerintah Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten harus bekerja keras memperhatikan kondisi ini. Apapun yang terjadi, ini merupakan tanggungjawab semua pihak, baik pemerintah maupun swasta yang telah mengeruk untung dari sumberdaya alam tersebut. AC