Pascatsunami Aceh yang menyentak dunia, Indonesia didukung beberapa negara maju, seperti Jerman, Jepang, Perancis, dan Amerika Serikat, serius membangun sistem pemantau gempa dan peringatan dini tsunami.
Pemberdayaan masyarakat dan pemerintah daerah di kawasan rawan tsunami pun ditempuh untuk membangun sistem mitigasi dan sarana evakuasi menghadapi terjangan gelombang pascagempa besar itu agar korban dan kerugian dapat ditekan.
Namun, itu saja tidak cukup. Sistem pemantauan potensi bencana dan sistem peringatan dini serta penyadaran dan pemberdayaan masyarakat juga harus dibangun untuk menghadapi bencana-bencana lainnya, terutama banjir, longsor, kekeringan, kebakaran lahan atau hutan. Ini belum termasuk bencana akibat angin puting beliung, letusan gunung berapi, pencemaran dan wabah penyakit, seperti flu burung, dan demam berdarah.
Upaya memantau gempa dan tsunami serta penanganan dampaknya agaknya dapat menjadi model menghadapi bencana lain. Sejak tahun 2005, pembangunan jejaring InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) dan upaya penyadaran serta pembelajaran masyarakat dalam mengantisipasi bencana dilakukan secara nasional dan konsisten hingga kini.
Program itu telah melibatkan dan menjaring instansi atau departemen terkait, institusi pendidikan, kalangan swasta, pemerintah daerah dan LSM, serta masyarakat. Melalui program TEWS, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi selaku koordinator kegiatan itu telah menjaring Badan Meteorologi, Klimatologi (BMKG), dan Geofisika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.
Dalam penyebarluasan informasi peringatan dini tsunami dan kegiatan simulasi evakuasi yang rutin dilakukan di berbagai daerah setiap tanggal 26 Desember-sekaligus memperingati kejadian tsunami Aceh-lebih banyak lagi pihak yang terlibat.
Sistem peringatan bencana
Sistem Peringatan Dini Meteorologi sendiri telah dibangun BMKG untuk memantau awan yang berpotensi menimbulkan hujan lebat, angin kencang, dan naiknya tinggi gelombang laut dalam lingkup regional dan lokal. BMKG telah mengoperasikan TCWC (Tropical Cyclone Warning Center) sejak April 2008.
Untuk tujuan serupa BPPT menggandeng lembaga riset Jepang-Jamstec membangun sistem radar doppler C Band di Serpong dan beberapa wilayah lain di Indonesia, seperti di Pontianak dan Samarinda.
Lalu untuk menghadapi banjir di beberapa sungai di Pulau Jawa, seperti Ciliwung dan Cimanuk, pihak Departemen Pekerjaan Umum juga merintis uji coba sistem peringatan dini banjir.
Departemen Kehutanan melibatkan lembaga riset terkait, seperti Lapan, BPPT, BMKG, dan Deptan, mengembangkan sistem peringatan dan pengawasan kebakaran dalam lingkup nasional. Ditetapkan potensi tingkat kemudahan penyulutan api atau fine fuel moisture code (FFMC).
Peringkat numerik dari kandungan kadar air bahan bakaran halus ini digunakan sebagai indikator tersebarnya api atau kebakaran. Peringkat FFMC tinggi biasanya terjadi pada rerumputan dan bahan bakaran halus lain yang kering atau mati di wilayah terbuka.
Penerapan alat deteksi dini bahaya kebakaran hutan juga dilaksanakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah bekerja sama dengan CARE International, International Research Institute for Climate and Society (IRI), dan Institut Pertanian Bogor.
Sistem reduksi bencana
Terbangunnya sistem peringatan dini yang terpencar-pencar di berbagai instansi dan daerah serta tak terintegrasi mendorong BPPT menginisiasi pembentukan NEOnet (Nusantara Earth Observation Network) dan Sistem Reduksi Risiko Multi Bencana (SIRRMA).
NEONet, kata Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan TISDA (Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam) BPPT Yusuf Surachman, merupakan jaringan kerja sama dalam konteks pemantauan dinamika sistem kebumian di wilayah Nusantara. Diharapkan semua sistem pemantauan yang dikelola berbagai pihak terjaring di dalamnya.
Dengan terintegrasinya pemantauan, pembangunan infrastruktur, dan sosialisasi mengenai kebencanaan diharapkan bisa memudahkan pemerintah dan seluruh masyarakat memperoleh informasi komprehensif tentang kondisi dinamika kebumian di seluruh Indonesia.
Sementara itu, dalam membangun SIRRMA, menurut Agus Kristijono, Kepala Pusat Teknologi Sumber Daya Lahan Wilayah dan Mitigasi Bencana BPPT, harus diawali dengan memahami fenomena terjadinya bencana dan paradigma penanggulangannya.
Risiko bencana dilihat dari potensi bencana alam yang terjadi dan tingkat kerentanan lingkungan masyarakat yang akan menghadapinya.
Teknologi yang diterapkan dalam penanganan atau penanggulangan bencana mencakup teknologi observasi kebumian serta pemetaan dan pemodelan. Teknologi itu digunakan mendukung pemantauan peringatan dini dan kesiapsiagan hingga upaya mitigasi, adaptasi, dan pemulihan.
Dalam roadmap yang ditetapkan SIRRMA, mulai tahun 2007 akan berakhir 2014. Dalam sistem tersebut, Agus semua pihak dari hulu hingga ke hilir bisa terjaring, termasuk juga penanganan luapan lumpur di Sidoarjo Jawa Timur.
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/18/00071688/hulu-hilir.soal.multibencana