Gejala El Nino pada musim kemarau tahun ini mulai terlihat nyata pada Juni ini. Dampaknya adalah curah hujan di bawah normal di kawasan timur Indonesia akan mencapai puncaknya pada Agustus hingga Oktober mendatang. Menghadapi anomali cuaca, masyarakat perlu menghemat air dan mengubah pola tanam.
Hal ini disampaikan Pelaksana Tugas Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Soeroso Hadiyanto di Jakarta, Senin (22/6). Berdasarkan data yang diperoleh dari International Research Institute di Amerika Serikat, persentase peluang terjadinya El Nino mulai terlihat lebih tinggi daripada kondisi netral, Mei lalu.
Pada bulan ini peluang munculnya anomali cuaca ini kian nyata sekitar 56 persen, sedangkan peluang cuaca normal 43 persen. Potensi La Nina yang bertahan beberapa tahun terakhir kini tinggal 1 persen.
Gejala El Nino ditandai dengan menghangatnya suhu permukaan laut di kawasan timur ekuator Pasifik dekat perairan Peru. Suhu muka laut di kawasan itu saat ini mulai menghangat atau naik + 0,5 derajat celsius, sedangkan bulan Oktober akan menjadi + 1 derajat celsius.
Sebaliknya, perairan di utara Pulau Papua atau barat ekuator Pasifik akan cenderung mendingin. Ini yang menyebabkan tidak terjadi penguapan atau pembentukan awan hingga kurang hujan di kawasan timur Indonesia. Namun, menurut Soeroso, bulan ini suhu muka laut di perairan wilayah Indonesia dalam kondisi normal.
Karena suhu muka laut menghangat di timur Pasifik, negara- negara di barat Pasifik, seperti AS dan Amerika Latin, sebaliknya mengalami curah hujan tinggi dan potensi datangnya badai tropis lebih tinggi dari kondisi normal, sedangkan di kawasan Atlantik curah hujan lebih sedikit.
Hal tersebut dikuatkan hasil pantauan Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA) awal Juni lalu, seperti dikutip kantor berita Associated Press (AP), 9 Juni 2009. NOAA mengidentifikasi adanya peningkatan suhu laut di kawasan timur Laut Pasifik.
Puncak El Nino
Soeroso menjelaskan, peluang El Nino tertinggi akan terjadi sekitar Agustus, September, dan Oktober mendatang yang mencapai 63 persen. Setelah itu persentasenya menurun hingga April 2010, yaitu menjadi sekitar 45 persen sama dengan peluang cuaca netral. Secara umum, antara Juni-Desember 2009, persentase peluang El Nino 55-63 persen.
"Kalau puncak El Nino pada Agustus atau September, akan ada peluang kemarau lebih panjang di Indonesia," kata Kepala Bidang Analisis Iklim dan Kualitas Udara BMKG Soetamto di Jakarta, Senin. Bila bulan Juli-Agustus kecenderungannya menguat, kemarau akan mundur hingga bulan November-Desember.
Sementara itu, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengatakan, pada Desember 2009 anomali suhu muka laut melebihi 2 derajat celsius. Ini merupakan gejala akan terjadi El Nino yang sama kuat dengan yang terjadi tahun 1997.
"Karena itu, masyarakat perlu diimbau segera melakukan penghematan air untuk menyambut kemarau panjang. Kebijakan pemerintah perlu disiapkan," tegasnya.
Dia mengingatkan, menghadapi El Nino, daerah yang perlu waspadai kelangkaan hujan adalah NTT dan NTB, wilayah selatan Papua dan Maluku serta Sulawesi Selatan, pantai utara Jawa, dan Lampung.
"Saat ini ketersediaan air tanah permukaan 40-60 persen. Artinya, mencukupi hingga tiga bulan mendatang dalam kondisi tak ada hujan," jelasnya.
Tahun 1997 Indonesia mengalami kekeringan panjang sebagai dampak El Nino. Sawah, sungai, dan badan air mengering, hutan gambut terbakar di Sumatera dan Kalimantan sehingga Indonesia diposisikan sebagai emiter gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia di bawah AS dan China.
Sumber: cetak.kompas.com