Jumat, 01 November 2024   |   WIB
id | en
Jumat, 01 November 2024   |   WIB
Ekonomi atau Konservasi?

Dua hal itu nampaknya menjadi pilihan sulit bagi bangsa ini. Jika memilih ekonomi, bagaimana caranya agar tidak mengorbankan konservasi? Tetapi sebaliknya, jika memilih konservasi, bagaimana meningkatkan pendapatan rakyat tanpa harus merusak lingkungannya?

Demikian pula yang terjadi di Gorontalo, provinsi yang terkenal dengan produksi tanaman pangan jagung. Bahkan Sang Gubernur pun tanpa sungkan mengaku sebagai Gubernur Jagung.

Namun, dataran Gorontalo tidak seluas Kalimantan atau Jawa, agar dapat menjadi media penanaman jagung yang baik. Wilayah Gorontalo sebagaian besar merupakan perbukitan. Apalagi wilayah Kabupaten Bonebolango, yang berada di bagian timur Gorontalo dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Bolaangmongondow, Sulawesi Utara.

Kabupaten yang beribukota di Suwawa ini, sebagian besar merupakan Perbukitan Tilungkabila, merupakan wilayah dengan kondisi tanah sangat labil dan kemiringan lereng yang cukup terjal.

Untuk menyusuri pantai selatan Gorontalo ke arah timur hingga Taludaa, Tim Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) harus melewati puluhan kelokan yang tajam dan curam. Jika di sisi pantai nampak jurang terjal siap menganga, sebaliknya di sisi darat terdapat dinding perbukitan yang setiap saat rawan longsor. Sebongkah batu besar seukuran 2 kendaraan SUV menghadang jalan, adalah bukti ancaman itu.

Pada hari ketiga ekspedisi kali ini (19 Maret 2009), Tim EGI bertolak ke Taludaa untuk melihat langsung perbatasan Gorontalo-Sulawesi Utara dan Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) di Mopuyadaa.

Di sepanjang perjalanan, lereng-lereng bukit yang curam banyak ditemukan dalam keadaan gundul. Warga sekitar sengaja menebang pepohonan besar yang tumbuh di lereng-lereng itu untuk dapat ditanami jagung. Kenyataan yang sangat dilematis. Satu sisi memberi kehidupan secara ekonomi, dan di sisi lain hidup mereka pun terancam oleh luncuran tanah dan batuan yang setiap saat bisa terjadi.

Entah siapa yang harus segera bertindak dan bertanggung jawab terhadap mereka, para petani kecil. Keadaan ini sangat membutuhkan perhatian serius pemerintah, agar apa yang menjadi prioritasnya tidak mengorbankan hal lainnya.

Sama halnya dengan para penambang emas ilegal, yang telah turun temurun menggali batu-batuan sungai di Mopuyadaa, dan memisahkan butiran emas dari benda lainnya dengan air raksa, sangat membahayakan kehidupan lainnya, karena air raksa tidak dapat larut dengan zat lainnya, apalagi jika berada di tubuh manusia.

Dalam rentang waktu yang pendek ini mungkin tidak akan terjadi segala sesuatu yang tidak diinginkan itu. Tetapi, alangkah bijaknya jika sejak saat ini semua pihak peduli terhadap apa yang terjadi di kemudian hari, jangan sampai membahayakan keselamatan kita sendiri.

Ekonomi atau konservasi, mungkin saja bukan pilihan.

Oleh Agung Christianto