Jumat, 01 November 2024   |   WIB
id | en
Jumat, 01 November 2024   |   WIB
Bandara dan Bantimurung

Ada lima tujuan yang hendak dicapai pada hari kelima Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) 2008 di Sulawesi Selatan, yaitu Bandara Sultan Hasanuddin, Taman Pra Sejarah Leang-leang, Taman Nasional (TN) Bantimurung-Bulusaraung, Air Terjun Bantimurung, dan Makam Kraeng Bantimurung.

Demi efektifitas waktu, Tim EGI dibagi menjadi dua kelompok, tim pertama dengan tujuan Bandara Sultan Hasanuddin dan kedua menuju kawasan sekitar Bantimurung.

Bandara Sultan Hasanuddin menjadi salah satu tujuan ekspedisi, karena memiliki nilai strategis dalam berbagai sisi, baik ekonomi, perdagangan, hingga budaya, apalagi aspek spasialnya. Bandara ini adalah satu-satunya di Indonesia yang memiliki model dua runway (landasan) yang saling bersilangan. Mengapa dibuat sedemikian rupa? Itulah yang menarik tim ekspedisi untuk mengungkapkannya, sehingga butuh waktu yang cukup panjang, baik untuk mengumpulkan data dan aspek-aspek yang melatarbelakangi serta dampaknya.

Tidak disangkal lagi, jika bandara ini adalah pintu gerbang Indonesia bagian timur. Nilai strategis bandara bertaraf internasional tersebut sangat tinggi, meskipun saat ini mungkin orang merasa belum puas terhadap pelayanan yang diberikan. Wajar, ada kepentingan yang memang tidak dapat dilepaskan, militer (TNI-AU) dan sipil.

Tim Bantimurung
Tim kedua, dengan tujuan kawasan karst Maros-Pangkep, titik perhentian pertamanya di Taman Pra Sejarah Leang-leang. Di sini adalah awal dilakukannya penelaahan gambar-gambar pra sejarah, yaitu pada tahun 1950 oleh Van Heekeren dan Miss Heeren Palm. Heekeren menemukan gambar babi rusa yang sedang meloncat, yang di bagian dadanya terdapat mata panah menancap. Sedangkan Miss Heeren Palm menemukan gambar telapak tangan dengan latar belakang cat merah, yang diduga merupakan gambar tangan kiri wanita, di Gua Leang Pettae.

Sejak saat itu, penelitian di kawasan karst Maros-Pangkep lebih intensif dan menghasilkan data yang melimpah tentang jejak hunian pra sejarah di kawasan tersebut. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar, terdapat 100-an leang pra sejarah yang tersebar di kawasan karst Maros-Pangkep dengan beragam jenis tinggalan budayanya berupa gambar gua, sebaran alat batu maupun sampah dapur yang terdiri atas moluska tawar, payau, dan laut. Tinggalan arkeologi tersebut menjadi objek kajian yang sangat menarik untuk diteliti guna mengetahui kehidupan manusia pada masa lampau.

Namun, sungguh-sungguh ironis. Kawasan yang memiliki nilai sejarah dan edukasi ini ternyata terancam oleh penambangan batu marmer. Salah satunya yang terdapat di Sumpang Bita, tidak lebih dari 500 meter terdapat usaha tambang yang mengancam gua-gua yang berisi gambar sampan, binatang dan telapak kaki dan tangan, baik dewasa maupun anak-anak.

Selepas waktu sholat Jum'at, Tim EGI menuju Balai Taman Nasional (TN) Bantimurung-Bulusaraung (Babul). Kepala Balai TN Babul menjelaskan kepada tim, sedikitnya diketahui terdapat tidak kurang 284 spesies tumbuhan berkayu dan 103 spesies kupu-kupu, diantaranya merupakan jenis endemik, serta 356 satwa liar 30 diantaranya dilindungi Undang-Undang.

Dari Balai TN Babul, destinasi selanjutnya adalah air terjun Bantimurung yang merupakan obyek wisata idola masyarakat Sulawesi Selatan. Lokasi ini selalu dipadati pengunjung khususnya pada hari libur, untuk menikmati segarnya air pegunungan sambil meluncur pada bidang luncur air terjun.

Kemudian, perjalanan dilanjutkan dengan pendakian menuju gua, tempat dimakamkannya Kraeng Bantimurung. Gua yang di dalamnya dapat dijumpai stalagtit dan stalagmit itu, memiliki cerita tentang cikal bakal penamaan Bantimurung. Posisi makam Kraeng Bantimurung itu sendiri berada 25 meter di luar mulut gua.

Potensi alam dan budaya di Provinsi Sulawesi Selatan ini memang sangat besar. Namun, kembali kepada apa yang hendak kita raih ke depan dengan memanfaatkan potensi tersebut. YL/AC