Ancaman terbesar bagi keutuhan wilayah Indonesia bukan aneksasi pulau oleh negara tetangga, tetapi perubahan iklim yang akan melenyapkan 3.000 pulau dan menciutkan batas wilayah negeri ini.
Pakar lingkungan Emil Salim melontarkan hal itu dalam seminar Kelautan dan Perubahan Iklim, Kamis (30/4), yang diselenggarakan Program Studi Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan.
Dalam seminar itu, Emil memaparkan skenario terjadinya kenaikan muka laut akibat akumulasi gas-gas rumah kaca, terutama gas karbon dioksida. "Kenaikan suhu muka laut bukan hanya peningkatan volume air laut akibat mencairnya es di kutub, tetapi juga pemuaian molekul air laut," ujarnya.
Sementara itu, menurut Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Alex SW Retraubun, pulau bertipe daratan rendah merupakan yang paling terancam lenyap akibat kenaikan muka laut. Ketinggian daratan pulau bertipe ini hanya berkisar satu meter. Selama ini pulau tersebut juga paling rawan terhadap bencana alam seperti topan dan tsunami.
Hasil survei DKP menunjukkan pulau-pulau kecil di Indonesia yang bertipe ini adalah Kepulauan Seribu, Kepulauan Sumenep, Kepulauan Aru, Kepulauan Selayar. "Pulau-pulau inilah yang terancam hilang dari muka bumi akibat kenaikan muka laut," kata Alex.
Menurut Emil, ada sekitar 20 persen dari seluruh pulau di Indonesia atau sekitar 3.000 pulau yang terancam tergenang akibat kenaikan muka laut.
Selain itu, survei yang dilakukan tahun 2007 menunjukkan telah terpantau kenaikan permukaan laut di beberapa wilayah perairan di Indonesia, yaitu di Pulau Jawa 15 milimeter per tahun, sedangkan di Laut Timor dan Sulawesi 19 mm dan 16 mm per tahun. Adapun kecenderungan kenaikan di Laut China Selatan 17 mm per tahun.
Menghadapi kenaikan muka laut, kata Alex, DKP bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung mengembangkan Indeks Kerentanan Pesisir tahun lalu. Dalam indeks tersebut dimasukkan beberapa parameter, antara lain tipologi pembentukan pulau dan pantai, tutupan vegetasi, tutupan terumbu karang, kepadatan penduduk, kenaikan muka laut serta gelombang tinggi.
Dari parameter tersebut kemudian ditetapkan skor dari 1 hingga 5 yang menunjukkan tingkat kerentanan. "Dari indeks tersebut dapat diketahui pulau-pulau yang memiliki kerentanan tinggi dan dilakukan pemantauan berkesinambungan. Kemudian menyusun rencana mitigasi dan adaptasinya," ujarnya.
Penanggulangan
Menghadapi naiknya permukaan laut akibat pemanasan suhu global itu, Alex mengemukakan beberapa rekomendasi, yaitu melakukan revitalisasi tutupan vegetasi pada pulau-pulau kecil hingga mencapai minimum 40 persen dan maksimum luasan infrastruktur adalah 30 persen.
Dalam hal ini mangrove dipilih karena merupakan tumbuhan yang dapat menahan erosi akibat gempuran ombak. Selain itu perlu ditingkatkan tutupan karang hidup dan kegiatan ekonomi penduduk berbasis kelautan yang ramah lingkungan.
Juga diperlukan pencanangan program migrasi penduduk dari pulau berdataran rendah ke pulau dengan elevasi lebih dari 5 meter. Hal ini juga terkait dengan program migrasi mandiri secara bertahap dalam kurun waktu 50 tahun mendatang.
Sementara itu, Emil Salim mengemukakan strategi pengantisipasi tenggelamnya pulau di Indonesia.
Strategi pertama adalah mengadopsi teknologi pembangunan bendungan dari Belanda. Penduduk di negeri kincir angin ini hidup aman selama puluhan tahun di bawah permukaan laut.
Strategi kedua melakukan penanam mangrove di kawasan pesisir saat laut surut.
Strategi ketiga adalah mengorbankan pulau yang jelas tenggelam dengan mengeruk bebatuannya untuk kemudian ditimbun di pulau yang lebih besar dan berpenduduk. Saat ini banyak pulau-pulau kecil di Indonesia yang tidak berpenghuni karena tidak terdapat sumber air tawar.
Selain itu, langkah adaptasi bagi penduduk antara lain dengan mengembangkan sistem budi daya ikan dalam "kolam" di laut dan mengembangkan perkebunan alga di pesisir.
"Alga ini selain dapat digunakan untuk bahan pangan dan kertas juga dapat menyerap karbon dioksida," ujarnya. Bagi penduduk juga perlu membiasakan diri hidup di lingkungan laut, seperti suku Bajo," ujar Emil. (YUN)
Sumber: cetak.kompas.com