Jumat, 08 November 2024   |   WIB
en | id
Jumat, 08 November 2024   |   WIB
Apa Kabar Kebijakan Satu Peta?

Biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan informasi geospasial memang sangat mahal. Namun, tanpa informasi geospasial, kita akan membayar jauh lebih mahal.

Pernyataan tersebut disampaikan Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik BIG Antonius Bambang Wijanarto saat membuka Geospasial Webinar Series dengan tema Bedah Buku “Kebijakan Satu Peta (KSP) untuk Pembangunan Nasional”, Kamis, 3 September 2020.

Anton mencontohkan bagaimana tumpang tindih penggunaan lahan menyebabkan konflik sosial di masyarakat. Tumpang tindih terjadi akibat penggunaan acuan informasi geospasial yang berbeda.

“Hidup tanpa peta akan mengakibatkan dampak yang lebih mahal,” jelas Anton.

Hal senada disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Wahyu Utomo. Menurutnya proses yang dijalani dalam mewujudkan KSP memang berat. Namun hasil integrasi KSP membantu proses pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan yang lebih cepat.

Saat ini, ke-84 tema KSP selesai dikompilasikan dan dintegrasikan. Ada sekitar 40,6% dari seluruh wilayah yang mengalami tumpang tindih. “Kalau sudah bisa dipetakan di mana lokasinya, bagaimana tumpang tindihnya, kami bisa menyusun rekomendasi. Untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih, seluruh pihak perlu duduk bersama,” tutur Wahyu Utomo.



Lantas sejauh mana KSP saat ini dimanfaatkan dalam pencapaian target pemerintah?

“KSP ikut andil dalam melahirkan Peraturan Presiden nomor 79 tahun 2019 dan nomor 80 tahun 2019 tentang masterplan percepatan pembangunan untuk kawasan ekonomi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu KSP dimanfaatkan dalam menyelesaikan masalah reforma agraria,” jawab Wahyu Utomo.

Widyaiswara Utama BIG Nurwadjedi selaku penulis buku “Kebijakan Satu Peta untuk Pembangunan Nasional” menjelaskan bahwa KSP dapat dimanfaatkan untuk mencegah konflik penggunaan lahan, mempercepat proses perizinan dan investasi melalui online single submission, dan menjadikan pembangunan antar sektor lebih terkoordinasi.

“Kunci keberhasilan KSP ada pada faktor koordinasi dan komitmen kementerian dan pemerintah daerah yang terlibat,” tutur Nurwadjedi.

Sementara itu, Kepala Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas (PPTRA) BIG Khafid menyoroti sistem berbagi pakai KSP. Menurutnya, salah satu indikator keberhasilan KSP adalah saat data yang dihasilkan dapat diberbagipakaikan oleh seluruh stakeholder.

“Sejak 2014 kita telah melaksanakan strategi berbagi akses dengan membangun jaringan geospasial nasional. BIG membangun Ina-geoportal untuk menghubungkan seluruh kementerian dan pemerintah daerah sehingga data dapat dimanfaatkan secara maksimal,” tutur Khafid.

Dekan Fakultas Geografi UGM Aris Marfai menilai perkembangan teknologi geospasial yang sangat dinamis saat ini harus dimanfaatkan untuk mendukung KSP. Analisis spasial, GNSS, UAV, Lidar, machine learning, dan geo artificial intelligence merupakan beberapa teknologi yang dapat dimanfaatkan secara efektif untuk mempercepat proses pemetaan dasar.

Ia pun memberi masukan agar lembaga negara berkolaborasi dengan industri dan swasta mengingat bagaiamana mereka dengan cepat mengadopsi teknologi yang berkembang. Untuk itu dibutuhkan regulasi dengan ruang lebih luas untuk merespon perkembbangan teknologi yang ada.

“Ini poin penting agar kita dapat melakukan lompatan dalam penyelenggaraan informasi geospasial,” jelas Aris. (MAD)