Kamis, 21 November 2024   |   WIB
id | en
Kamis, 21 November 2024   |   WIB
Menerka Masa Depan SDM IG

Menerka Masa Depan SDM IG

Oleh: Della Ananto Kusumo
Surveyor Pemetaan – Pusat Standardisasi dan Kelembagaan Informasi Geospasial
Badan Informasi Geospasial

Sejak memasuki dunia kerja, tidak ada satu pun pegawai yang berharap karirnya berakhir dalam sekejap. Namun, kenyataannya tidak ada seorang pun bisa meramal dengan pasti masa depan.

Sangat mungkin, pada suatu waktu semua orang berlomba-lomba mendapatkan pekerjaan pada suatu profesi. Namun, belasan tahun kemudian, pekerjaan tersebut bisa jadi menghilang atau profesi Anda tidak lagi dibutuhkan. Faktor penyebabnya bervariasi, bisa digantikan mesin atau karena alasan lain.

Setelah menyelesaikan pendidikan, semua orang tentu mendambakan bekerja dibidang yang dikehendakinya. Bekerja sesuai kompetensi dan mendapatkan kompensasi yang sebanding, akan membuat orang bersemangat menjalani aktivitas pekerjannya.

Bagaimana dengan kesempatan karir di Industri Informasi Geospasial? Mari kita urai dengan saksama.

Kebijakan SDM bidang IG

Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Informasi Geospasial, profesi bidang IG secara sistematis diatur pola karirnya. Secara khusus pada PP tersebut, dalam bab V yang terdiri dari Pasal 95 hingga 107 tentang Pelaksana Bidang Informasi Geospasial membahas secara rigid dan sistematis profesi di bidang IG.

Disebutkan dalam Pasal 96 ayat (1), bahwa pelaksanaan IG yang dilakukan oleh orang perseorangan wajib memenuhi kualifikasi sebagai tenaga professional yang tersertifikasi di bidang IG. Dilanjutkan pada ayat (2), bahwa tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang IG terdiri atas a. profesi bidang IG; b. tenaga ahli bidang IG; dan c. tenaga terampil bidang IG.

Disini jelas, bahwa syarat sebagai pelaksana di bidang IG adalah tenaga profesional tersertifikasi, baik profesi, ahli, maupun terampil. Kaitan antara profesi, ahli, dan terampil dijelaskan dengan baik dalam PP tersebut maupun regulasi turunannya, yaitu Peraturan Badan Informasi Geospasial (BIG) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Tenaga Profesional Yang Tersertifikasi Di Bidang Informasi Geospasial, bahwa seseorang yang ingin mendapatkan gelar profesi bidang IG, harus mempunyai sertifikat kompetensi terlebih dahulu.

Sedangkan, untuk menjadi seorang ahli, harus mempunyai pendidikan akademik jenjang sarjana. Bisa digambarkan dalam skema sederhana, pondasi dari pelaksana bidang IG adalah pendidikan, kemudian kompetensi, dan di atasnya adalah profesi sebagaimana gambar terlampir.


Gambar 1. Hirarki Sertifikasi dan Registrasi Profesi bidang IG

Dari pasal per pasal PP 45 Tahun 2021 maupun PerBIG Nomor 14 Tahun 2021, jelas bahwa skema Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) bidang IG ada pemisahan antara jenjang ahli dan terampil. Jika digambarkan, ada dua chart bar. Skema terampil adalah jenjang 2-5 KKNI. Sedangkan, jenjang ahli adalah 6-9 KKNI.

Jenjang 5 tidak bisa langsung ke jenjang 6 sebelum menempuh pendidikan sarjana sebagai syarat mutlak yang diatur oleh sektor bidang IG untuk mendapatkan sertifikasi kompetensi jenjang ahli.


Gambar 2. Chart bar KKNI bidang IG

Di sini sudah sangat jelas terkait kebijakan dan hirarki keprofesian bidang IG. Tinggal implementasinya yang masih ditunggu kewajiban sertifikat profesi di pekerjaan bidang IG.

Saat ini, sertifikat kompetensi sudah diwajibakan di pekerjaan BIG dan beberapa sektor IG di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta sejumlah kementerian/lembaga lainnya.

Menarik untuk ditunggu, apakah sertifikat profesi akan diwajibkan ke semua orang atau bertahap. Misal di Malaysia, minimal satu surveyor diwajibkan dimiliki suatu perusahaan di bidang IG sebagai penanggungjawab di perusahaan tersebut. Tidak perlu semua tenaga ahli maupun terampil mempunyai sertifikat profesi. Apakah sistem ini akan diadopsi?

Terlebih, saat ini sekolah profesi bidang IG untuk geografer maupun surveyor masih dalam tahap inisiasi untuk merespon PP 45 Tahun 2021. Let’s see!

Link and Match Pendidikan dan Kebutuhan Industri

Berapa kebutuhan sumber daya manusia (SDM) di industri IG dan pemenuhannya dari sektor pendidikan? Mari kita kupas dan urai pertanyaan tersebut secara menyeluruh dan satu persatu.

Apakah BIG sudah melakukan kajian terkait SDM bidang IG? Jawabannya pernah. Bahkan sudah dua kali dilakukan, yaitu pada 2015 dan dipertajam pada 2018 sebagaimana terlampir di tabel 1 Analisis pemenuhan SDM IG Nasional.

Tabel 1. Analisis Pemenuhan SDM IG Nasional – Kajian Proyeksi SDM IG (2018)

Pada tabel di atas, terlihat gap SDM IG dari 2015-2023 mengalami defisit pemenuhan. Jumlah yang dibutuhkan lebih banyak dari pada yang tersedia di lapangan.

Perlu digarisbawahi, SDM yang dibutuhkan bukan hanya untuk pekerjaan di BIG. Tetapi juga sektor IG yang ada di Kementerian ATR/BPN, KKP, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pemerintah daerah, dan lainnya. Ini baru dari segi kuantitas.

Bagaimana rincian untuk tingkatan pendidikannya? Apakah mayoritas membutuhkan lulusan sarjana, magister, atau seorang doktor? Mari kita lihat salah satu sampel untuk pekerjaan di salah satu unit di BIG, yaitu Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim (PPRT).

Tabel 2. Analisis Kebutuhan SDM PPRT 2021

Bisa dilihat dan dicermati, jika dipisahkan menjadi jenjang ahli (6 dan 7) serta terampil (3 dan 4), di PPRT BIG saja porsi terbesar adalah level operator, bukan jenjang ahli di mana sarjana menjadi prasyarat mendapatkan sertifikat kompetensi di level ahli.

Jika dijumlahkan untuk kolom kebutuhan, jenjang ahli membutuhkan 370 SDM. Sedangkan, jenjang terampil membutuhkan 2.052 SDM.

Artinya, perbandingan ahli dengan terampil atau setara sarjana dengan vokasional adalah 1:6. Angka ini harus dicermati dan diperhatikan, bahwa jenjang sarjana porsinya lebih sedikit dibutuhkan untuk pekerjaan hulu dibandingkan vokasional. Logisnya memang begitu, apakah dibutuhkan lebih banyak pemimpin atau koordinator dari pada operator?

Pertanyaan selanjutnya, berapa banyak sekolah vokasional untuk bidang IG? Apakah sebanyak penghasil sarjana bidang IG? Bisa pembaca renungkan, sepertinya di poin ini tidak match antara supply and demand. Apakah perguruan tinggi dan kementerian terkait mencermati hal ini?

Jika ditelisik, sebenarnya pemerintahan sekarang sangat mengutamakan dan melakukan penguatan pendidikan vokasional. Namun, yang masih menjadi pertanyaan bagaimana head to head jenjang KKNI dengan jenjang pendidikan.

Contoh, ketika kebijakan di bidang pendidikan melakukan upgrading dari D3 ke D4. Siapa yang mengisi jenjang terampil level 5 di KKNI? Mungkin, secara skill sangat bisa D4 mengisi pekerjaan D3. Tetapi, bagaimana dengan penghasilan yang diterima? Apakah mau downgrade juga?

Utopia Remunerasi dan Impian Masa Kecil

Seorang dewasa akan dihadapkan pada persimpangan jalan setelah mengenyam bangku pendidikan selama 12 tahun. Masa depan sudah harus disusun agar tidak salah langkah.

Pertanyaan, “mau jadi apa?” harus bisa dijawab oleh hati sanubari. Tidak ada lagi trial and error seperti bangku sekolah dasar.

Iming-iming sekolah cepat dan gaji tinggi acap kali santer terdengar tentang masa depan setelah lulus dan pencari kerja. Kalimat-kalimat manis memang dengan mudah melambungkan hati. Kenyataannya, perjalanan menjadi geografer maupun surveryor tidaklah semulus dan semanis itu. Apalagi saat ini.

Untuk menjadi seorang dengan predikat profesi bidang IG, yaitu geografer ataupun surveyor bukan perkara sederhana. Mencermati uraian PP 45 Tahun 2021, sangatlah tidak singat dan mudah untuk mencapai hal tersebut.

Jika diurutkan, 12 tahun pendidikan dasar dan menengah, empat tahun kuliah sarjana, uji kompetensi dan (mungkin) satu tahun untuk pendidikan keprofesian. Meskipun tanpa pendidikan keprofesian untuk sarjana maupun diploma sudah bisa bekerja dengan sertifikat kompetensi.

Tapi, apakah dengan mengantongi ijazah, sertifikat kompetensi dan atau sertifikat profesi mampu mewujudkan harapan orang tua yang sudah menyekolahkan anaknya? Apakah semua effort yang sudah dilakukan bisa mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak?

Belajar dari Profesi Lain

Perlu digarisbawahi, bahwa analisis di atas adalah untuk SDM bidang IG yang bekerja disektor hulu. Di mana persyaratan sudah sangat demikian sistematis dan pembuatan sistemnya agar lebih mature sedang dibuat bertahap. Bagaimana pun juga, sistem dibuat bukan untuk mempersulit atau menghambat. Dari sudut pandang mana pun, hal ini tentunya mengatur dan membuat profesi bidang IG lebih baik dan mature.

Bisa diambil contoh begini, ketika seorang apoteker salah meracik obat, dia bisa disidang etik. Ketika seorang dokter salah suntik atau melakukan malpraktik, dia bisa disidang etik. Atau ketika seorang arsitek salah melakukan rancang bangun, bisa disidang etik.

Bagaimana dengan profesi di bidang IG? Apakah ketika SDM di bidang IG salah melakukan penarikan garis di lapangan atau digitasi on screen bisa dituntut? Ataukah seorang geografer ketika memberikan informasi suatu wilayah yang disebutnya zona hijau, malah terkena bencana pada suatu waktu. Apakah tidak ada tanggungjawab profesi disitu?

Ketika seseorang masuk kuliah sarjana kedokteran, tracknya sudah jelas. Pilihan hidupnya adalah menjadi seorang dokter. Begitu pula dengan seseorang yang masuk kuliah jurusan hukum, pilihan pekerjaannya ada beberapa setelah menyandang gelar sarjana. Kuliah lagi magister kenotariatan untuk menjadi notaris. Pendidikan profesi tiga bulan jika ingin menjadi pengacara. Atau mengikuti jalur ASN jika ingin menjadi hakim atau jaksa.

Bagaimana dengan SDM bidang IG? Apakah sudah se-mature itu? Bukankah ketika suatu profesi sudah mature akan mempengaruhi billing rate?

Profesi-profesi tersebut di atas dalam kondisi mature tentunya diraih tidak dalam sekejap. Ada yang warisan sistem kolonial, ada yang mengadopsi sistem internasional, ada pula yang memperjuangkan sistem keprofesiannya melalui regulasi yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Stakeholder bidang IG harus terus bersinergi. Kemapanan suatu profesi tidak hanya pekerjaan regulator. Asosiasi profesi, perguruan tinggi, dan asosiasi industri juga harus mendukung penerapan dari regulasi tentang profesi bidang IG.

Lebih-lebih di era digital, SDM adalah kunci keberhasilan transformasi industri, keprofesian, dan negara. Tentunya dengan kepimpinan yang visioner. Seperti yang disampaikan Robin Sharma, penulis buku `The Monk Who Sold His Ferrari`, bahwa change is hard at first, messy in the middle, and gorgeous at the end.