Semarang, Berita Geospasial - Selama beberapa dekade, luas ekosistem mangrove dunia mengalami penyusutan yang signifikan akibat berbagai aktivitas ekonomi, seperti konversi lahan untuk budidaya tambak, pemanenan produk kayu, serta pembukaan lahan untuk pengembangan pelabuhan dan permukiman. Untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove yang krusial ini, diperlukan kolaborasi dalam pengelolaan dan konservasi berkelanjutan.
Sekretaris Utama Badan Informasi Geospasial (BIG), Belinda Arunarwati Margono, saat membuka The 19th Working Group Meeting on the Marine and Coastal Environment in the South China Sea di Semarang, pada Rabu, 7 Agustus 2024, mengungkapkan pentingnya pemahaman mendalam tentang wilayah laut dan pesisir, mengingat 40% populasi dunia tinggal di kawasan tersebut. Salah satu habitat pesisir yang perlu mendapatkan perhatian adalah ekosistem mangrove yang terdapat di kawasan Laut Cina Selatan.
“Mangrove merupakan ekosistem yang sangat penting karena ekosistem ini memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, menjadi penghalang alami dan melindungi pantai dari erosi dan gelombang badai, juga memainkan peran penting dalam penyerapan karbon, membantu dalam mitigasi perubahan iklim, serta mendukung perekonomian masyarakat,” tutur Belinda.
Di antara 10 negara dengan luas mangrove terbesar di dunia, empat di antaranya berada di kawasan Laut Cina Selatan. Mangrove di Indonesia sendiri mencakup 23% dari luas mangrove global, menjadikannya yang terbesar di dunia dengan total luas 3,44 juta hektar.
"Tujuan pertemuan ini adalah untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai isu lingkungan laut dan pesisir, khususnya mangrove di kawasan Laut Cina Selatan, serta membahas bagaimana pengelolaan mangrove yang efektif dapat dilakukan. Saya berharap, dari kegiatan ini, kita dapat menciptakan kolaborasi dan aktivitas bersama di masa depan untuk melestarikan ekosistem mangrove," tandas Belinda.
Direktur Pemetaan Tematik BIG, Gatot Haryo Pramono, yang bertindak sebagai Chair dalam pertemuan ini, menyampaikan laporan mengenai pertemuan tahun sebelumnya di Banten pada 23 Agustus 2023. Pertemuan tersebut menyoroti kemajuan, metode, dan adaptasi dalam pengelolaan terumbu karang di Laut Cina Selatan.
Dalam pertemuan ini, participating parties dari Indonesia, Cina, Chinese Taipei, Myanmar, dan Vietnam mempresentasikan tata kelola dan strategi pengelolaan mangrove yang telah diterapkan di wilayah mereka masing-masing.
"Seluruh peserta sepakat bahwa hubungan baik, dan networking peserta harus terus dijaga untuk memperkuat kolaborasi di kawasan Laut Cina Selatan di masa depan melalui peningkatan kapasitas, dan kerja sama teknis yang disepakati," ujar Gatot dalam sesi penutup.
Pertemuan berikutnya akan diadakan pada tahun 2025 dengan fokus pada permasalahan lingkungan laut dan pesisir, khususnya pengelolaan zona pesisir di Laut Cina Selatan. Sebagai informasi, kegiatan The 19th Working Group Meeting on the Marine and Coastal Environment in the South China Sea ini juga dirangkai dengan The 33rd Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea yang akan dilaksanakan pada tanggal 8 Agustus 2024. Acara ini diselenggarakan oleh BIG melalui Direktorat Sistem Referensi Geospasial dan Kementerian Luar Negeri, melalui Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri. (MN/LR)