Yogyakarta, Berita Geospasial – Penetapan Gumuk Pasir Parangtritis sebagai salah satu warisan geologi unik di pesisir selatan Yogyakarta menghadapi sejumlah hambatan. Salah satunya terkait pengelolaan dan pemanfaatan untuk terus menjaga keistimewaan gumuk pasir.
Seiring dengan berubahnya Parangtritis sebagai kawasan wisata, sejumlah aktivitas penghijauan dan ekonomi pun dilakukan. Kawasan gumuk pasir semakin padat, tidak hanya oleh tanaman vegetasi, tetapi juga permukiman. Akibatnya, hamparan luas gumuk semakin menyusut. Ketinggiannya pun semakin berkurang.
“Gumuk pasir harus dikelola secara serius, misal dibuat sebuah lembaga atau ada kerja sama yang bisa mengelola sesuai dengan kaidah pendidikan, budaya, dan kaidah lingkungan,” kata Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Muh Aris Marfai saat membuka acara pembahasan kerangka kerja sama antara BIG dengan Keraton Yogyakarta pada Senin, 14 Juni 2021.
Menurut Aris, pengelolaan dan pemanfaatan gumuk pasir adalah suatu upaya restorasi.Restorasi atau proses pengembalian pada kondisi aslinya perlu dilakukan untuk menjaga kawasan inti Gumuk Pasir Parangtritis seluas sekitar 141,1 hektare yang membentang dari Pantai Pelangi sampai barat Parangkusumo, Desa Parangtritis.
“Sudah ada siteplan di gumuk pasir,” tegas Aris.
Saat ini, lanjut Aris, Parangtritis Geomaritime Science Park (PGSP) mempunyai kekancingan seluas 2 hektare di wilayah gumuk pasir yang akan habis masa berlakunya pada 2026. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) sudah mengajukan perpanjangan kekancingan dan akan memasukkan BIG di dalamnya.
Menanggapi hal tersebut, Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro selaku perwakilan Keraton Yogyakarta menyampaikan bahwa Ngarsa Dalem mengharapkan adanya suatu kajian terhadap pengelolaan Kagungan Dalem Gumuk Pasir. Selain itu, diharapkan pula adanya audiensi dari BIG dan UGM untuk menyampaikan rencana pengembangan gumuk pasir.
“Kawasan Kagungan Ndalem Gumuk Pasir seluas 412 hektare, sebenarnya sudah dilakukan pembagian menjadi zona inti, penyangga, dan zona pemanfaatan. Tetapi, saat ini sudah tidak tertata lagi sesuai dengan zona peruntukkannya,” ucap Kanjeng Wiro.
Banyak masyarakat yang tidak paham mengenai batasan zona inti, terbatas, dan penyangga mengakibatkan banyak berdiri bangunan di kawasan tersebut. Karenanya, perlu rumusan yang spesifik terkait pengelolaan gumuk pasir.
Lebih jauh, Kanjeng Wiro ingin menjadikan Gumuk Pasir Parangtritis sebagai tujuan wisata alternatif Yogyakarta. Tentunya tanpa mengabaikan pengelolaan untuk pelestarian.
“Harus dikelola oleh operator yang tepat dan juga investor yang mau berinvestasi pada pengelolaan gumuk pasir yang tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga peduli pada masyarakat sekitar, berbasis budaya, dan pelestarian lingkungan,” jelasnya.
Sebagai informasi, Gumuk Pasir Parangtritis merupakan kejaiban alam yang hanya ada dua di dunia dan satu-satunya di Asia Tenggara. Proses terbentuknya gumuk pasir dimulai saat Gunung Merapi meletus dan mengeluarkan material vulkanik. Material tersebut kemudian mengalir terbawa arus sungai hingga ke laut.
Tenaga gelombang laut yang besar membawa material tersebut terendap di pantai. Material vulkanik berupa pasir selanjutnya dibawa oleh angin dan menumpuk di suatu tempat. Uniknya, bentuk gumuk pasir bisa berubah menyesuaikan angin. Karena itulah, gumuk pasir dianggap hidup karena bisa berubah bentuk dan berpindah tempat.
Pengelolaan Gumuk Pasir Parangtritis tidak bisa dilepaskan dari tata kelola Gunung Merapi sebagai sumber utama penyusun material terbentuknya gumuk pasir. Sehingga, poros imajiner Gunung Merapi dengan Gumuk Pasir Parangtritis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan harus dikelola secara harmonis dari sisi ekologis maupun budaya. (NIN/MN)