Cibinong, Berita Geospasial – Akhir Agustus lalu menjadi hari terakhir Hasanuddin Zainal Abidin mengemban tugas sebagai Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG). Ada cerita menarik bagaimana ia bisa menjadi pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Informasi Geospasial (IG).
“Awalnya saya tidak ada niat sama sekali ikut lelang Kepala BIG, karena waktu itu saya masih menjabat sebagai dekan di ITB (Institut Teknologi Bandung),” kenangnya saat acara `Bincang Bersama Bpk Prof. Dr. Hasanuddin Z. Abidin, Sebuah Memori Akhir Jabatan` di Aula BIG, Senin, 31 Agustus 2020.
Suatu hari, lanjut Hasan, ada pejabat pemerintah selevel menteri datang ke ITB. Beliau menyarankan agar Hasan mencoba mengikuti seleksi terbuka Kepala BIG.
Saran pejabat tersebut disampaikan kepada sang istri. Namun, dengan tegas sang istri yang juga berprofesi sebagai pengajar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menolaknya karena tidak bisa mendampingi tinggal di Cibinong.
“Saya juga bingung, nanti kalau ke BIG tinggal di mana. Tapi, seminggu kemudian ada lagi pejabat pemerintah selevel menteri WA (WhatsApp) saya meminta ikut lelang,” tutur pria kelahiran Jakarta, 8 Agustus 1960 tersebut.
Tapi, sang istri tetap tidak setuju karena banyak teman-teman yang singgah di hotel prodeo setelah menjabat. Namun, desakan untuk mengikuti seleksi Kepala BIG terus berdatangan.
“Ada yang bilang ke saya agar jangan egois memikirkan diri sendiri. Ketika mahasiswa mendapat beasiswa supersemar dari pemerintah. S2 dan S3 juga dibiayai pemerintah. Apakah etis, ketika pemerintah minta tolong ke Anda, tapi Anda tidak mau,” kisahnya.
Dari situlah hati Hasan mulai tergerak. Langkahnya tidak lagi bisa dihentikan. Sang istri akhirnya memberikan restunya dengan satu syarat.
"Jangan neko neko, jangan memalukan keluarga. Saya mendaftar seleksi Kepala BIG karena dorongan untuk berkontribusi, khususnya dalam mengembangkan peran IG sebagai landasan pembangunan,” ungkap Hasan.
Menurut mantan Dekan Fakultas Ilmu Kebumian ITB ini, ada banyak suka duka dirasakan selama menjabat sebagai Kepala BIG. Terlebih dia harus beradaptasi, dari seorang akademisi menjadi birokrat.
“Saat di perguruan tinggi, idealisme yang bekerja. Begitu jadi birokrat, kadang-kadang itu tidak berlaku. Kita tidak bisa memaksakan idealisme di kepala kita. Itu pembelajaran tersendiri bagi saya,” ucapnya.
Namun, ada yang disyukuri Hasan bisa menjadi Kepala BIG. Ia jadi bisa merasakan pengalaman baru dan mengenal banyak orang.
“Tidak hanya itu, BIG ini kan banyak manfaatnya untuk lembaga lain. Senang rasanya bisa membantu orang. Menurut saya, di mana saja (kita bekerja), sama saja. Selama kita ikhlas, tidak neko neko, mau belajar, dan niatnya jangan jelek,” tutupnya. (AR/NIN)