Jumat, 08 November 2024   |   WIB
en | id
Jumat, 08 November 2024   |   WIB
IG dan Pengelolaan Pemanfaatan Lahan

Cibinong, Berita Geospasial – Ancaman alih fungsi lahan pertanian semakin nyata di Indonesia. Dalam beberapa waktu terakhir, luas baku sawah berkurang cukup signifikan.

Alih fungsi lahan menjadi nonpertanian terjadi karena pesatnya pertumbuhan penduduk dan industri yang menuntut ketersediaan lahan. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah, dalam rangka menjaga ekosistem dan daya guna lahan.

Luas Indonesia tidak pernah bertambah, maka perlu dilakukan strategi pengelolaan pemanfaatan lahan untuk pembangunan berkelanjutan,” kata Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik Badan Informasi Geospasial (BIG) Antonius Bambang Wijanarto saat memberikan paparan pada Geospatial Webinar Series (GWS) dengan tema ` Informasi Geospasial Lahan Baku Sawah dan Kedaulatan Pangan di Era New Normal`, Selasa, 9 Juni 2020.

Menurut Anton, ancaman lain yang harus diwaspadai adalah bencana yang datang secara tidak terduga. Bencana yang dimaksud tidak terbatas pada karena faktor alam, tapi juga pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini dikhawatirkan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, termasuk sektor ketahanan pangan.

“Pangan adalah agenda global sangat penting yang harus diperhatikan. Tugas beratnya ada di bagaimana menata (penggunaan) tanah, sehingga program pembangunan pemerintah bisa efektif,” tegas Anton.

BIG, lanjut Anton, dengan segala keterbatasan yang ada mencoba memetakan luasan sawah di Indonesia. Sebagai lembaga pembina Informasi Geospasial Tematik (IGT) di Indonesia, BIG ditunjuk sebagai pelaksana kegiatan verifikasi luas lahan sawah bersama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Pertanian, serta Badan Pusat Statistik (BPS).

“Meskipun IG bukan barang `seksi` dan selalu bergerak di belakang, tapi nyatanya IG penting untuk pembangunan nasional. IG adalah integrator dari semuanya. Apapun yang kita lakukan, ada hubungannya dengan informasi di mana kita,” terangnya.

Anton menjelaskan, penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan menjadi bagian indikator global yang akan dikembangkan. Sehingga, posisi data spasial seperti lahan baku sawah, lahan sawah dilindungi, serta lahan cetak sawah mempunyai posisi strategis.

“Khusus untuk lahan sawah berkelanjutan, keterlibatan sosial sangat penting sebagai dasar penentuan program selanjutnya. Ini ada hubungannya dengan lahan baku sawah yang semuanya melibatkan spasial secara i,” tambahnya.

Pada kesempatan tersebut, Anton menekankan bahwa pemerintah telah berbagi tugas untuk kemudian dapat disinkronkan dalam bentuk penataan tanah. Hal ini perlu dilakukan agar lahan sawah yang masih tersisa dapat mendukung keberlanjutan hidup sampai masa depan anak cucu kita.

“Lahan terbatas, banyak sekali gangguan. Kita harus siapkan dari sekarang, agar Indonesia tetap mandiri sesuai arah pembangunan kita,” tutup Anton.

GWS seri ketiga yang digelar BIG ini juga menghadirkan narasumber Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian Fadjry Djufry; Direktur Penatagunaan Tanah Direktorat Jenderal Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN Sukiptiyah; serta Direktur Jenderal Pengembangan Kawasan Transmigrasi, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nurdin.

Sebagai informasi, BIG telah menyiapkan 14 seri GWS yang digelar secara maraton hingga akhir Juli. GWS seri selanjutnya akan digelar pada Jumat, 12 Juni 2020 dengan tema ` InaTEWS: Kesiapan Menghadapi Bencana `. (NIN/MN)