Rabu, 12 November 2025   |   WIB
id | en
Rabu, 12 November 2025   |   WIB
BIG Inisiasi Pedoman Nasional Penandaan Geografis Blok Tanam Sawit

Jakarta, Berita Geospasial — Guna memperbaiki tata kelola data spasial sektor perkebunan sawit nasional yang berkelanjutan, Badan Informasi Geospasial (BIG) menggelar rapat Penyelarasan dan Pembahasan Pedoman Penandaan Geografis Blok Tanam Sawit di Jakarta, 10 Oktober 2025. Pertemuan lintas instansi ini bertujuan menyamakan persepsi dan memperkuat koordinasi dalam penyusunan pedoman teknis penandaan geografis blok tanam sawit.

Dalam sambutannya, Sekretaris Utama BIG, Belinda Arunarwati Margono, menyatakan bahwa penandaan geografis merupakan adaptasi terhadap peraturan internasional seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR). “Merujuk pada EUDR, istilah geotagging dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai penandaan geografis,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa fokus awal penandaan geografis diarahkan pada blok tanam sawit, sesuai amanat dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian). Namun, ia memastikan bahwa pedoman ini nantinya perlu diterapkan secara lebih luas untuk berbagai komoditas lainnya.

“Kami ingin mengerucutkan hasil pembahasan sebelumnya sekaligus menghimpun masukan dari mitra pembangunan dan akademisi agar pedoman ini benar-benar bisa diterapkan di lapangan. Harapannya, pedoman ini sederhana, memiliki batasan yang jelas, doable, namun tetap sesuai aturan,” kata Belinda.

Sementara Staf Ahli Bidang Konektivitas dan Pengembangan Jasa Kemenko Perekonomian, Dida Gardera, menegaskan urgensi penandaan blok sawit sebagai langkah mendesak. “Penandaan blok sawit ini berkaitan dengan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan tuntutan global untuk menerapkan konsep keberlanjutan dari aspek lingkungan, sosial, hingga ekonomi,” ujarnya.

Dida menambahkan bahwa produktivitas sawit Indonesia, yang saat ini mencapai 50 juta kiloliter, masih bisa ditingkatkan melalui penyediaan data spasial dan numerik yang memadai, serta kerja sama erat antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Ia juga menekankan pentingnya koordinasi antar-kementerian/lembaga untuk menyelaraskan pedoman dan sistem sertifikasi ISPO. Koordinasi ini juga penting untuk negosiasi dengan Uni Eropa mengenai standar akurasi data spasial yang dinilai terlalu detail jika diterapkan di perkebunan.

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Akreditasi Badan Standardisasi Nasional (BSN), Wahyu Purbowasito Setyo Waskito, memaparkan aspek standardisasi produk ISPO yang berkaitan erat dengan data geospasial. BSN tengah menyesuaikan prosedur akreditasi lembaga sertifikasi ISPO sesuai Peraturan BSN No. 7 Tahun 2025 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Lembaga Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.

“Sistem informasi yang ada belum berjalan dengan baik, sehingga kita perlu membuka kemungkinan penggunaan sistem alternatif yang tetap memenuhi standar teknis,” ungkap Wahyu. Ia juga menjelaskan bahwa salah satu perubahan utama dalam proses sertifikasi adalah peralihan dari pelaporan satu titik lokasi menjadi data berbentuk poligon agar posisi dan batas lahan dapat diketahui secara utuh. Selain itu, akurasi koordinat hingga enam digit desimal dan verifikasi lapangan menjadi elemen penting dalam proses sertifikasi ISPO.

Perubahan fundamental dan penyusunan pedoman yang diinisiasi BIG ini sangat krusial untuk memperbaiki tata kelola data spasial sektor perkebunan sawit Indonesia. Hal ini diharapkan dapat memperkuat sertifikasi ISPO dan memenuhi tuntutan global akan konsep perkebunan sawit yang keberlanjutan.

Reporter: Achmad Faisal Nurghani
Editor: Intan Pujawati