Penanganan kasus jatuhnya pesawat Casa 212 milik TNI AU di kawasan Gunung Salak, akhir pekan lalu (26 Juni 2008), mengungkap misi di balik penerbangan naas itu, yaitu uji coba peralatan foto udara berteknologi baru. Hal ini tentu mengundang keingintahuan tentang kecanggihan alat pemotretan tersebut.
Saat ini untuk pemotretan rupa bumi dari udara umumnya telah menggunakan kamera digital. Perkembangan ini sejalan dengan kemajuan teknologi kamera digital yang produknya dipasarkan kepada masyarakat.
Penggunaan kamera digital untuk foto udara mulai menggeser penggunaan kamera sistem analog dan manual. Hal yang sama dilakukan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) sejak beberapa tahun terakhir ini, jelas RW Matindas, Kepala Bakosurtanal. Sebelum menggunakan yang digital penuh, digunakan sistem semidigital.
Dibandingkan dengan sistem analog, sistem foto udara digital akan lebih cepat dalam menghasilkan foto udara. Untuk menghasilkan foto udara berkualitas baik tidak perlu dilakukan penerbangan berulang kali. Hasil pemotretannya juga dapat diedit dengan mudah.
Kamera Udara Digital, jelas Matindas, pertama kali diaplikasikan dalam pemotretan kawasan pesisir Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pasca-tsunami 2004, pada tahun 2005. Pemotretan dilaksanakan bekerja sama dengan Norwegia. "Untuk meliput kawasan pesisir barat NAD hanya butuh waktu tiga bulan," ujarnya. Dengan sistem analog dibutuhkan waktu sekitar 45 bulan-nyaris empat tahun! Tampilan hasil pemotretan kamera digital dapat dilihat langsung di pesawat, di layar monitor.
Menurut Kepala Bidang Pemetaan Dasar dan Rupa Bumi Bakosurtanal Suyono, kamera digital (Digital Aerial Camera) jenis Digital Mapping Camera (DMC) yang diuji coba dengan pesawat Casa 212 yang naas itu memiliki kelebihan dibandingkan dengan versi terdahulu.
Pada versi lama, pemotretan dilakukan seperti layaknya memotret dengan kamera biasa dengan beberapa kali pengambilan gambar dari lubang lensa berukuran 23 x 23 cm untuk menghasilkan serangkaian bingkai atau frame foto di jalur tertentu.
Pada versi baru yang disebut DMC ini, pemotretan dapat berlangsung kontinu seperti rekaman video. Kamera optik ini merekam kontinu seluruh rupa bumi di jalur yang dilalui hingga beberapa kilometer. Teknologi ini pertama kali diperkenalkan di Indonesia tahun 2005.
Dengan cara kerja dan hasil gambar yang diperoleh, DMC versi video ini jauh lebih baik dibanding versi kamera digital biasa. Gambar yang dihasilkan lebih banyak dan lebih utuh. Dengan keunggulan itu, harganya bisa 2-2,5 kali lipat. DMC video ini harganya 17-20 miliar rupiah.
Foto udara di Indonesia
Pemotretan permukaan bumi dengan kamera optik dari wahana yang menjelajah di angkasa pada ketinggian tertentu sesungguhnya bukanlah hal baru di Indonesia. Menurut keterangan Jacub Rais-perintis geomatika di Indonesia-kegiatan pemotretan udara bertujuan survei dan pemetaan, paling tidak telah dilakukan sejak dibentuknya Perusahaan Nasional Aerial Survey (Penas) melalui Keppres yang keluar tahun 1961. "Penas merupakan perusahaan negara yang dikelola AURI atau semacam BUMN di bawah Dephankam pada waktu itu," ujar Jacub.
Selain Penas, Bakosurtanal adalah salah satu lembaga pemerintah nondepartemen bidang riset teknologi yang telah merintis penggunaan foto udara rupa bumi di tahun 1978, ujar Jacub yang juga mantan Ketua Bakosurtanal. Melalui Proyek Resources Evaluation Aerial Photography (REAP), Bakosurtanal bekerja sama dengan Kanada. Ketika itu pesawat yang digunakan adalah jenis Taurus King Air Type A-90 yang dimodifikasi untuk penempatan dua kamera.
Dengan sistem dua kamera itu, pada sekali penerbangan dihasilkan dua macam foto udara, yaitu foto hitam putih dan foto inframerah warna semu (false colour infrared)-panjang fokusnya berbeda sehingga berbeda skalanya. Cara pemotretan yang diperkenalkan Z Kalensky (Kanada) ini telah diuji coba di Afrika Selatan.
Menurut Jacub Rais, penggunaan model dua foto udara itu dapat menekan biaya. Selama ini, pemotretan dari udara di Indonesia sangat mahal karena jendela untuk memotret sangat kecil dan kondisi udara kerap berawan dan berkabut.
Dengan sistem foto udara menggunakan dua pesawat Taurus King yang telah dimodifikasi, Bakosurtanal menghasilkan foto hitam-putih (H/P) skala 1:60.000 dan FCIR skala 1:30.000 untuk wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, sedangkan untuk Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan seluruh Sulawesi dihasilkan foto udara skala 1:100.000 H/P dan 1:60.000 FCIR. Foto udara H/P diproses di laboratorium untuk menghasilkan peta dasar rupa bumi, sedangkan foto udara FCIR untuk inventarisasi sumber daya alam.
Dengan sistem foto udara itu, seluruh wilayah Indonesia ketika itu dapat terpetakan. Foto udara merupakan salah satu alternatif menghasilkan rupa bumi selain penginderaan jarak jauh dengan satelit.
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/02/00155049/mengabadikan.rupa.bumi
Oleh; Yuni Ikawati