Bogor, Berita Geospasial – Proses pembakuan nama rupabumi perlu melibatkan pakar di bidang geografi dan bahasa. Hal ini sebagaimana tertuang dalam manual Pembakuan Nasional Nama Geografi yang disusun United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN).
“Jika ada permasalahan penentuan batasan geografis terkait toponim perkotaan maupun toponim unsur alami, maka libatkan pakar geografi. Namun, jika permasalahan terkait kebahasaan, maka perlu pelibatan pakar bahasa,” tutur Aji Putra Perdana dari Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim Badan Informasi Geospasila (BIG) saat membuka diskusi hari ketiga pelaksanaan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) pengayaan substansi rencangan pelaksanaan Penyelenggaraan Nama Rupabumi (PNR) pada Rabu, 18 November 2020.
Pakar geomorfologi dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) Djati Mardiatno menjelaskan, geomorfologi merupakan salah satu pendekatan keilmuan geografi dalam mengenali toponim. “Pendekatan geomorfologi untuk interpretasi unsur rupa bumi alami di wilayah daratan dapat dikenali dari morfografi, yaitu kesan topografi dilihat secara kualitatif; morfometri yang dapat diukur/kuantitatif; serta morfogenesisnya baik material penyusun, dinamika endogen, dan proses eksogen,” jelasnya.
Djati mencontohkan toponim berkaitan dengan fenomena geomorfologi, yaitu Rambat (nama desa di Kecamatan Geyer, Grobogan). Menurutnya, rambat berkaitan dengan rayapan tanah (creeping) yang merupakan proses eksogen.
Pada kesempatan yang sama, Bachtiar Wahyu Mutaqin dari Fakultas Geografi UGM menjelaskan mengenai geomorfologi kepesisiran. Dimulai dari lingkup kepesisiran hingga menyajikan sejumlah foto lanskap kepesisiran sebagai bahan diskusi mengenali batasannya.
Ia juga mengajak peserta DKT untuk mendiskusikan terminologi kepesisiran. Hal ini memicu kesadaran peserta dalam sesi diskusi tentang perlunya kamus yang berisi daftar istilah geografi yang dapat digunakan sebagai acuan bersama.
Sedangkan, Kepala Pusat Pemetaan Integrasi Tematik BIG Lien Rosalina menjelaskan beberapa hal terkait penerapan pendekatan geomorfologi dalam pemetaan tematik penutup lahan dan sistem lahan di Indonesia serta penamaannya. Secara umum, dapat diketahui bahwa pengetahuan geomorfologi dapat membantu mengenali batas dari unsur-unsur rupabumi yang masih samar, misalnya gunung dan pantai, termasuk mengenali pola aliran sungai.
“Pendekatan visual secara tiga dimensi (3D) untuk pengenalan unsur rupabumi dapat menggunakan data dasar seperti DEM (Digital Elevation Model) dikombinasikan dengan citra satelit membantu melihat kesan topografi. Selain itu, perlu integrasi dengan pendekatan analitik yaitu analisa perhitungan untuk mendapatkan gambaran morfometrinya, papar Lien.
Pada sesi siang, Guru Besar Linguistik Universitas Indonesia Multamia RMT Lauder menjabarkan secara lengkap peran bahasa dalam penamaan unsur rupabumi. Dimulai dari pengantar mengenai hubungan linguistik dan toponimi, hingga perjalanan toponimi di Indonesia.
Wanita yang akrab disapa Mia ini mengingatkan, bahwa keterlibatan aktif dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa penting dalam mengawal toponimi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam konteks pemantauan terhadap implementasi pembakuan nama rupabumi melalui kajian lanskap linguistik terkait penggunaan bahasa di ruang publik.
Mia juga menekankan kembali bait ketiga teks Sumpah Pemuda, Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. “Maknanya, bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan dan kita tetap perlu melestarikan bahasa daerah, termasuk kaitannya dengan pelestarian nama lokal sebagai bagian dari nama rupabumi yang dibakukan,” tandasnya. (APP/DN/NIN)